Banyak orang yang mengklaim dirinya perfeksionis; penuntut sempurna, pencinta kesempurnaan, atau ingin melakukan dan bisa mendapatkan yang terbaik. Segala cara dilakukan semaksimal mungkin bahkan bisa jadi merepotkan diri hingga orang lain. Mendapatkan sesuatu yang sempurna memang menjadi impian ideal bagi setiap orang. Akan tetapi seberapa usaha yang bisa dilakukan untuk itu? Seberapa sabar kuat dan tahan diri bahkan orang lain untuk bisa menyaksikan hasil yang ideal? Seorang perfeksionis bisa jadi pada akhirnya nggak bisa meraih apa yang diinginkan sebagai output, tetapi proses yang dilalui menjadi melelahkan bahkan menyakitkan. Bisa aja kan ya.
Lantas kenapa bisa gitu? Coba lihat dan ngaca. Seorang perfeksionis biasanya anti untuk minta tolong atau menerima bantuan. Merasa serba bisa. Berpikir bahwa apa yang dihadapi akan mampu dikunyah atau kalo perlu ditelan bulat mentah. Padahal ketika mereka menolak pertolongan, orang lain justru menawarkan bukan karena iba saja melainkan juga karena perilaku si perfeksionis sudah mulai menganggu orang lain. Merasa kuat untuk menangani masalah, tapi sebenarnya jadi dragging. Proses jadi lama berkepanjangan. Apalagi kalo sudah melibatkan orang lain semisal sebagai kerja tim. Ada saja yang dirasa kurang, belum cocok, belum lengkap, belum ini itu. Bikin orang lain jadi sebal memang.
Akan tetapi dengan demikian si perfeksionis justru menjadi kritis berlebihan. Tidak saja buat diri sendiri, tetapi juga orang lain. Mungkin standarnya memang tinggi. Bisa jadi keinginannya untuk mendapatkan yang terbaik juga buat semua orang. Hanya saja ketika sudah menegasi orang lain, maka dirinya akan dilihat sebagai sosok yang egois dan nggak peduli. Sampai di situ sudah jelas ia kan sulit untuk mengambil keputusan. Jika dianggap belum sempurna, maka waktu yang digunakan akan berkepanjangan dan seringkali terjebak kepada dilema ketidakpuasan. Itulah sebabnya seorang perfeksionis akan terus menerus merasa kecewa. Nggak ada habisnya. Selalu ada penyesalan tentang waktu yang tidak cukup, orang lain yang tidak maksimal bahkan tidak kompeten.
“Imperfection facilitates improvement, perfection facilitates stagnation.” ~ Abhijit Naskar, Hometown Human: To Live for Soil and Society
Lama kelamaan perasaan tidak puas itu akan bertambah melebar dan membuat relasinya memburuk terhadap orang lain. Tidak heran jika sosok yang perfeksionis akan selalu menemukan hambatan sosial sekaligus juga personal. Secara sosial ya akan dipandang sebagai pribadi yang sulit dan berat. Secara personal akan menderita juga lantaran ketidakpuasan bisa membunuh. Lantas apa yang harus dilakukan? Jika anda melihat bahwa indikasi di atas cukup kuat melekat maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menentukan batasan maksimal berbanding dengan waktu. Tidak ada sesuatu yang sempurna, tidak ada waktu yang cukup. Melakukan apapun dengan maksimal juga punya batasan-batasan yang harus dipenuhi. Perfeksionisme terhadap tujuan harus berangsur berpindah kepada proses sebagai peningkatan kualitas. Kedua, menyadari bahwa dalam situasi dan kondisi tertentu akan ada peran orang lain. Entah sebagai tim kerja, mitra, klien, bahkan orang yang punya spesialisasi lebih dibandingkan diri sendiri. Jadi nggak ada salahnya juga bisa minta tolong kan? Ngapain juga manggul seluruh dunia di pundak sendiri. Pegel ntar. Ketiga, dengan melihat bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini, maka ngapain juga ngabisin waktu untuk satu dua hal yang harus menguras begitu banyak tenaga, pikiran dan waktu tanpa berimbal balik secara setara? Jika layak ya sat set sat set, jika nggak layak ya tinggalin aja. Sebab perfeksionisme juga related dengan ambis, ego bahkan rasa penasaran. Bisa juga ditanyakan, situ beneran punya passion atau merasa dedicated melakukan satu hal, atau hanya karena penasaran aja? Tiati dipikir sebelum jauh melangkah.