Ini sebuah kisah nyata. Dalam sebuah penerimaan karyawan baru, tampak antusiasme dari beberapa pelamar. Rata-rata adalah lulusan baru dengan indeks prestasi kumulatif tinggi, aktif semasa kuliah, selalu berpartisipasi dalam ragam kegiatan, bahkan tidak lupa menyertakan sertifikat ini itu. Sewaktu wawancara masih malu-malu kucing karen belum pernah punya pengalaman kerja. Ketika sampai pada soal penawaran gaji, reaksinya bermacam-macam. Ada yang sesudahnya masih harus mengkonfirmasi orang tua soal penawaran besar gaji, ada pula pula yang terkaget-kaget karena tawaran take home pay sebesar UMP lebih sedikit. Menurutnya, jumlah segitu tidaklah elok buat dirinya yang punya prestasi segudang. Pewawancara dengan santai menjawab bahwa itu tidak ada hubungannya. Jika mau dibayar mahal, keahlian apa yang bisa diberikan kepada perusahaan? Kontan calon itu terdiam.
Kejadian semacam itu bukanlah hal yang aneh sejak beberapa dekade lalu. Terlebih sekarang urusan kuliah sampe lulus juga dianggap hanya sekedar cari nilai sebagus-bagusnya agar kelak bisa diterima kerja dengan mudah. Padahal tidak sesederhana itu. Entah karena minim softskills atau lulus tergesa, ada saja gap yang cukup lebar antara dunia akademik dengan bisnis atau industri. Itu sudah pasti. Tapi darimana kepedean itu berasal? Pertama, kampus adalah tempat yang ideal yang menuntut orang serba bisa. Dengan membaca silabus, cari bahan, maka jadilah sebuah bentuk pengajaran yang serupa setiap semester. Menguasai sebuah topik yang kemungkinan belum tentu bisa up to date setiap saat. Tapi karena terus diulang, ya semakin fasih tapi nggak ada perkembangan yang berarti.
Kedua, hampir sebagian besar orang yang berkutat di dunia akademik belum tentu memahami realitas yang ada di luar. Semisal, standar riset atau penelitian di kampus selalu akan berpijak kepada hal yang sudah valid dan tertinggal ketimbang di dunia industri yang lebih spekulatif dan progresif. Coba saja cek semisal riset ekonomi dengan mencari bahan di bursa efek. Mahasiswa yang kesana hanya mencari laporan RUPS tahun tertentu yang dianggap sudah final. Itu pun fotokopi seadanya karena mahal. Profesional bisa mencari semua yang dibutuhkan bahkan kalo perlu salin semua.
Ketiga, penguasaan secara teoritis membuat mereka yang ada di dunia akademik di Indonesia kebanyakan mampu menelajahi setiap wacana, narasi hingga pengembangan secara tekstual, tapi tidak kontesktual apalagi aplikatif. Sebab di luar dunia akademik justru terjadi pertarungan yang sesungguhnya mulai dari penyesuaian hingga pengkondisian yang ada. Contohnya sederhana; di kampus peserta diskusi FGD masih belasan orang dan kadang pake pembicara, sementara standar terbaru di dalam industri riset sudah mematok responden sebanya enam orang saja dalam durasi 150 menit.
Konsekuensinya adalah, kesenjangan itu bukan lagi soal softskill tetapi pada praktek ketika mereka yang biasa di kampus harus beranjak menyentuh dunia luar. Oleh karena biasa dianggap serba bisa, ideal, tesktual dan berimajinasi soal bagaimana sepatutnya dunia luar dengan menggunakan kacamata akademik, ya tetiba kaget begitu mentok. Persis seperti lulusan yang ngelamar kerja itu. Pemahaman yang awalnya berangkat dengan kepedean ternyata tidak sesuai harapan. Kok bisa? Pengalaman yang ada di dunia akademik adalah hal yang berbeda dengan dunia diluarnya. Demikian juga dengan portofolio, rekam jejak, hingga resume yang dimiliki juga tidaklah sama. Alhasil, cara pandang, proyeksi dan juga melihat masalah juga menjadi berbeda. Menyamaratakan dengan keyakinan bahwa dengan afirmasi dan pengakuan sosial serupa bisa didapat seperti di kampus, jelas adalah ilusi.
“What separates stupidity and smartness is just a tittle of pride and overconfidence.” ~ Sinario Vesta
Maka nggak heran ketika produk kampus berupa sarjana yang masih segar itu bisa kemudian menjadi kecewa ketika apa yang dibayangkannya berbekal reputasi akademik ternyata nggak sesuai harapan saat melamar kerja. Begitu kerja pun banyak yang mulai dari nol untuk bisa menyesuaian diri dengan apa yang ada. Nah, mulai dari nol inilah yang kerap jadi momok buat orang yang merasa sudah menguasai meski baru secara teori atau kulit-kulitnya doang. Seolah dianggap nggak paham itu adalah sebuah hinaan, padahal kenyataannya ya memang harus belajar lagi. Selain itu ada kecenderungan untuk overfitting dan underfitting. Jika overfitting, adalah apa yang biasa dikuasai di kelas kemudian secara mentah dibawa keluar. Itu persis kayak menerangkan tentang analisis puisi di kelas sastra, kemudian melakukan hal yang sama di tengah pasar. Atau underfitting, menyatakan apa yang sudah umum diketahui orang banyak sehingga tidak terlalu bermakna. Layaknya bercerita kalo kambing itu punya empat kaki.
Mau begitu? Yang ada malah ngeklaim doang ntar. Nggak heran juga kalo ada civitas academica yang kemudian mengklaim jadi pakar ini itu gegara sekedar pegang silabus, tapi gelagepan saat ngomong dalam konteks industri, bisnis atau apapun di luar. Kalo cuma di media atau publikasi doang sih wajar, namanya juga cari kredit kan? Tapi overclaimed, overconfidence dan overestimation itu jelas nggak bagus. Lagi pula juga nggak overpaid pastinya. Jadi bijaklah ketika masuk ke dalam lingkungan, habitat atau ekosistem yang bukan wilayah kekuasaannya. Terlebih, di dunia luar yang tidak nyaman dan tidak ideal itu adalah hutan rimba. Butuh waktu buat mengubah kucing kampung eh kampus supaya beneran jadi macan profesional. Berapa lama? Lama banget. tau-tau jadi embek.