Beberapa saat lalu, kata kemlinthi sempat jadi rame jadi pembicaraan dan dibahas khususnya berkaitan dengan salah satu kandidat dalam Pemilihan Presiden 2024. Kata kemlinthi sendiri berasal dari bahasa Jawa, meski menurut JC Tukiman Tarunasayoga, kata itu belum ditemukan pada Baoesastra Djawa tahun 1939 meski artinya senada dengan kemlancang (terlalu berani), kemlungkung (angkuh) dan kementhus (lebay). Dalam perspektif tentang definisi yang lebih modern, kata kemlinthi tidak cukup dipahami sebagai sebuah sikap arogan, tengil, belagu, tinggi hati sebagai sebuah nilai internal, tetapi juga eksternal tentang bagaimana seseorang yang dianggap kemlinthi itu juga memperlakukan orang lain dengan rendah, hina, tidak setara dan cenderung berbeda. Singkatnya meninggikan diri tapi sekaligus juga merendahkan orang lain.
Sikap demikian dalam konteks diksi di zaman sekarang kerap disamakan dengan self entitlement. Artinya adalah (1) kondisi psikologis seseorang yang merasa memiliki hak khusus atau kepantasan, atau (2) adanya ekspektasi yang tidak realistis terhadap hak-hak atau perlakukan yang istimewa. Dari kedua kondisi tersebut, bentuk kedua dapat diartikan sebagai narsisme atau disorder yang sudah masuk dalam patologi kejiwaan. Self Entitlement Disdorder atau SED, bisa disebabkan oleh sikap kemanjaan atau over kompensasi di masa kecil, atau juga berkaitan dengan disorder lainnya seperti narcissistic personality disorder (NPD) atau antisocial personality disorder (ASPD).
Akan tetapi ada perbedaan yang signifikan antara bentuk pertama dan bentuk kedua. Jika dilihat, bentuk kedua sering dipahami bahwa ada situasi yang berlebih sejak kecil. Orang yang terabaikan secara emosional dan diberi kompensasi material secara berlebih bisa jadi ke arah sana. Akan tetapi ada peluang di bentuk pertama bahwa orang yang bersangkutan justru mengalami pra kondisi yang sebaliknya. Serba kurang, miskin dan terbelakang, minim pendidikan dan seterusnya,. Itu kemudian membuat kondisi selanjutnya sebagai sebuah pembalasan positif yang harus menjadi nada kesuksesan, keberhasilan, kekayaan, dan kemampuan lain dengan implikasi output yang juga harus dihargai, dihormati, disanjung dan diperhitungkan.
“We are notorious for ‘running’ around self-righteously declaring our rights to this and to that. But if we were to reflect upon the millions who ‘ran’ across bloodied battlefields so that we would have rights to declare, I think we’d do a whole lot less declaring and a whole more appreciating.” ~Craig D. Lounsbrough
Maka sering terjadi, entah sebagai asumsi atau bahkan hipotesis bahwa orang yang lahir serba kurang dan kemudian kini hidup berbalik menjadi serba lebih, punya potensi risiko untuk menjadi narsistis. Apalagi pra kondisi yang dimaksud itu kemudian diartikan sebagai latar belakang mereka yang benar-benar terbelakang misal dari desa, sangat serba kurang, yang kemudian bisa mengubah nasib sehingga merasa harus pantas minimal untuk dicontoh, untuk ditiru dan kemudian pengkondisian yang lahir karena proses eksternal tersebut juga mempengaruhi secara internal.
Kasus seperti ini sering terjadi. Misal, ada seorang profesor Indonesia yang kini berdomisili di luar negeri dan suatu waktu diminta untuk memberi kontribusi ilmiah yang dikuasainya dalam sebuah online meeting. Selama setengah jam pertama, narasi yang muncul adalah cerita kesuksesannya yang berlatar dari daerah yang sangat terbelakang, mendapat beasiswa, memegang beberapa gelar, bisa pergi dan kini tinggal di luar negeri serta segudang prestasi lain. Dalam waktu yang terbatas dan posisi sebagai kontributor tunggal, adakah relevansinya bagi audience yang menunggu dengan sabar inti pembicaraan sambil menghabiskan kuota? Jelas tidak ada. Demikian pula pengamatan terhadap mereka yang kerap gemar merendahkan orang lain dari aspek intelektual, materi, posisi sosial atau pencapaian yang dilakukan setelah kerja keras untuk mengubah nasib. Adakah itu cermin dari kompensasi terhadap masa lalu yang menyedihkan? Ataukah setelah punya ukuran terhadap kemakmuran tertentu maka kemudian merasa bahwa hanya dialah yang pantas untuk mendapatkannya? Ujung-ujungnya masih aja butuh pengakuan sosial dari orang lain.
Dengan demikian, butuh observasi mendalam untuk bisa melihat dan memutuskan jarak sosial yang dibutuhkan. Orang harus lebih selektif untuk memilih dengan siapa interaksi harus berlangsung dan dibutuhkan dengan setara. Mimik, gestur, pernyataan bahkan sikap langsung adalah indikator yang harus bisa dipahami dan menjadi refleksi. Jika kita tidak ingin diremehkan, maka sudah pasti jangan meremehkan. Belajar untuk bisa apa adanya. Sesederhana itu. Belajar menerima dan mengapresiasi sebagai pembentukan karakter memang sulit, terlebih kalau sudah anti kritik dan merasa lebih dari yang lain. Tapi pastinya layak dicoba.
Jika pilihan sosial semacam itu saja sudah begitu penting, apalagi pilihan politik. Lihat saja respons seperti cara bertanya, cara menjawab, dan karakternya kepada mereka yang secara sosial politik lebih rendah. Kalau sudah merasa paling tau, paling pinter, paling bener, paling ganteng, paling merasa sudah pantes jadi pemimpin itu ngeri. Tau-tau utang sudah menumpuk, kerja nggak, bisnis nggak, birokrasi kagak dan koper yang sudah di-packing buat masuk ke Istana sudah harus dibongkar lagi. Luar biasa kan self entitlement itu. Eh ini bukan ngomongin satu dua orang aja lho. Jangan ikutan baper, Ntar ujungnya kemlinthi. Situ jadi bikin psikiater tambah laris pasca pemilu.