Banyak orang yang seringkali trenyuh, iba, kasian, nggak enakan untuk kemudian berusaha melakukan hal-hal yang sering di luar nalar. Perasaan semacam itu sering disebut bleeding heart, yang justru membuat orang yang mau tampil tulus masih jadi goblok. Mengapa? Sebab peka hati adalah santapan empuk buat mereka yang cuma sekedar ambil manfaat, cari untung, nebeng, atau bahkan nggak produktif sama sekali. Isinya cuma orang-orang yang entah mengatasnamakan teman, sodara, kerabat atau siapapun yang sebenarnya beracun.
Tanpa sadar proses semacam itu akan berlangsung lama dan mengikat lantaran orang yang peka hati umumnya tidak mampu merefleksi pikiran dan tindakan secara jernih. Umumnya cuma mengandalkan perasaan aja. Mengharu biru sampe bisa nangis sendiri, padahal kenyataannya cuma dia yang memikul beban dan jadi topangan. Bisa kemudian merasa jadi welas asih, ternyata hanya dirinya yang memelihara kebodohan. Maka peka hati itu adalah penyakit yang membuat orang justru jadi tidak membayangkan bahwa dirinya hanya sekedar jadi kuda beban.
Lantas mengapa ada orang yang peka hati? Awalnya sikap demikian dipandang sebagai sebuah semata kebaikan. Nggak ada yang salah kalo bantu orang lain, Nggak ada yang keliru kalo menopang orang lain. Tapi menjadi keliru kalo ternyata tindakan itu tidak mendewasakan orang yang dimaksud. Lebih keliru lagi jika justru malah mempropaganda kebaikan semu semacam itu dengan mengajak orang lain. Maka peka hati justru adalah dua kali lipat kekeliruan dengan mengatasnamakan kebaikan. Padahal kebaikan sendiri tidak pernah secara tegas memasang wajah berupa kelembutan. Kebaikan bisa berupa apa aja. Justru kelembutan dengan wajah tolol sering menipu diri sendiri. Kelembutan ibarat pasir yang entah dibalik itu ada berlian, atau malah taik kucing.
"Pay mind to your own life, your own health, and wholeness. A bleeding heart is of no help to anyone if it bleeds to death." ~Frederick Buechner
Jadi sifat peka hati itu menjerumuskan. Bisa membuat orang jadi gelap mata, tepuk dada, merasa sudah bisa sesuatu, seolah melunasi hutang dengan tindakan, atau sialnya justru terperangkap dalam relasi yang seolah dekat tapi ternyata cuma memanfaatkan. Terus harus gimana? Ya tentu saja tega. Tapi tega justru malah sering dinilai sebagai sebaliknya; negatif, hitam, tak bermoral, durjana, khianat bahkan bejad. Bayangkan dengan peka hati yang dua kali lipat itu. Udah membohongi diri sendiri, membohongi orang lain. Berasa ajdi pahlawan penyelamat, tapi ujungnya malah menjerumuskan orang lain dalam ketidaksiapan dan kecengengan untuk terus bergelayut karena janji. Bodoh kan ternyata. Nah, pilih yang mana?