Dalam perilaku dan interaksi sehari-hari, manusia butuh dihargai. Ini bukan soal wanipiro, tapi sebagai ekspresi berkaitan dengan aspek emosional untuk memperlihatkan sebuah pembuktian bahwa jerih payah atau usaha seseorang harus bisa dilihat dan diapresiasi. Itulah sebabnya ada istilah token of appreciation. Terjemahannya secara lugas adalah tanda penghargaan. Jenisnya bisa macem-macem dan tidak melulu bersifat material seperti uang. Misalnya saja, orang yang memenangkan kompetisi atau lomba, sudah pasti ada iming-iming hadiah seperti segepok duit yang bisa ditransfer atau dibawa pulang. Tapi apakah motif orang ikut kompetisi atau lomba adalah dapet duit? Ya bukan. Apresiasi terhadap pencapaian yang diraih lebih bersifat simbolis misalnya piala atau medali. Makanya seperti lomba marathon, mereka yang ikut bukan saja senang bisa membuktikan stamina mereka masih sanggup mencapai garis finish. Dapet medali sebagai peserta saja sudah bangga banget; bisa dipamerin, disimpan atau dipajang. Apalagi dapet piala kan? Demikian halnya atlit profesional juga butuh tanda penghargaan. Hadiah uang didapat, piala dan medali dapat, tepuk tangan dan kekaguman publik juga dapat.
Oleh karena itu, aspek emosional di dalam token of appreciation adalah hal yang sangat penting. Kelihatannya sepele tapi ya sangat simbolis. Nggak udah bayangin soal benda seperti piala atau medali dulu deh. Ia bisa berupa saja mulai dari harapan, tindakan, kata-kata, bantuan, dukungan, bahkan pelukan sekalipun. Entah peristiwa yang terjadi punya nilai ekonomis atau komersial, atau tidak ada sama sekali tapi emosi yang muncul adalah representasi penghargaan. Jadi ada harga simbolis yang sangat mahal dan dibutuhkan. Misalnya ada yang sedang berduka, sedih atau kehilangan maka pelukan juga merupakan bentuk apresiasi untuk memberi dukungan.
Akan tetapi token of apreciation terkadang tidaklah murni seperti yang selalu dibayangkan. banyak juga tindakan semacam itu dilakukan sebagai basa-basi untuk memperlancar atau bahkan menutupi kejadian yang lain. Misalnya puja-puji dilakukan dalam memuluskan negosiasi atau transaksi yang sedang berlangsung di bawah tangan. Orang seneng dipuji walau tau itu sebenarnya basi. Tapi biar sama-sama enak, ya apresiasi jadi diberikan meski kadang berlebihan. Dengan kata lain, ada udang dibalik bakwan. Yang menjilat kasih gula semanis mungkin, yang dijilat tau modus yang bersangkutan tapi cenderung membiarkan atau malah menikmati. Ada hasil nyatanya? Ngemeng doang.
Tapi itu belum seberapa, sebab meski munafik tapi kedua belah pihak tau sama atu tujuan masing-masing. Menjadi masalah jika ada orang yang sama sekali nggak paham tentang arti penting token of apreciation. Pelit pujian, apa-apa perhitungan, tiada kata apresiatif yang keluar dari mulut bahkan untuk sekedar bilang terimakasih. Mungkin tidak terbiasa, tapi lebih tepatnya tidak terdidik sama sekali untuk berperilaku etis dan normatif. Konsekuensinya adalah ketidakmampuan untuk menghargai orang lain. Istilahnya, kagak ada sopan-sopannya sama sekali. kelihatan lugas nggak basa-basi, tapi memang sebenarnya nggak mampu. Jadi pola relasi sosial yang ada patut dipertanyakan sebab model begitu ujungnya hanyalah mau menerima tapi tidak bisa memberi. Enggan menghargai orang lain tapi butuh juga diapresiasi, Bahkan penghargaan yang diinginkan kerap berbentuk materi. Mulai dijajanin hingga barang, semua itu adalah minta dan bagik. Mana ada yang berbayar, kalo bisa gratis.
"Feeling appreciated is one of the most important needs that people have. When you share with someone your appreciation and gratitude, they will not forget you. Appreciation will return to you many times." ~Steve Brunkhorst
Itulah sebabnya, kemampuan untuk bisa menghargai dimulai dari hal-hal kecil, sepele, dan terpenting ada ketulusan. Banyak orang yang lupa bahwa kebutuhan akan penghargaan itu nggak melulu bersifat materi dan diberikan terus menerus dengan diminta. Jika mau dihargai, ya sudah pasti harus bisa mengapresiasi terlebih dulu. Timbal balik jadinya. Tanpa ketulusan, hanya ada kata-kata kosong, janji palsu dan asal bacot. Maunya segede gunung, tapi mengecilkan upaya orang lain. Ya ke laut aje mbang kalo gitu.