Suka atau tidak, hampir semua orang menginginkan bentuk tubuh yang ideal menurut konsep umum yang berlaku di masyarakat. Emangnya gimana sih yang ideal itu? Pada abad lampau, bentuk tubuh ideal itu berbeda di setiap kebudayaan nasional masing-masing. paling gampang mengkategorisasinya adalah dengan batasan negara hingga benua. Di Afrika, umumnya bentuk tubuh ideal bagi perempuan adalah pantat yang besar sebagai simbol kesuburan. Dada besar relatif tidak menarik ketimbang pantat. Di Jepang era Edo, erotisme dan sensualitas di lihat dari leher belakang. Maka pelaku prostitusi menggunakan kimono yang memperlihatkan leher belakang mereka ketimbang konsep dada terbuka seperti di Eropa.
Akan tetapi sejalan dengan modernisasi dan industrialisasi yang berlangsung hingga saat ini. Bentuk tubuh ideal tidak lagi dilihat dari perspektif kebudayaan yang berbeda-beda. Apa yang dianggap ideal adalah selera pasar yang ditentukan (by design) oleh industri. Rambut lurus, kulit putih, tinggi semampai, hidung mancung adalah konsep cantik umumnya di Asia. Sementara itu selera Barat adalah kulit yang coklat, dan agak kepembokat-pembokatan yang justru dipandang rendah di Asia seperti Indonesia. Industri juga membanjiri konsep idealisasi tubuh dengan beragam produk yang semakin segmentatif dan kategoris. Dulu orang hanya tau bahwa perawatan wajah adalah milik perempuan. Kini produk semacam itu sudah ada untuk lelaki. Segmentasi semakin meluas dengan tidak saja berbasis gender tetapi juga usia, bahkan bisa jadi ada kelas sosial. Entah.
Hal yang menarik adalah dengan konsep semacam itu orang beramai-ramai berusaha memenuhi selera pasar. Tidak ada lagi konsep yang berbasis budaya secara alamiah bahkan personal. Misalnya saja mengejar bentuk tubuh atau wajah yang ideal, orang melakukan operasi plastik entah di Korea atau Thailand dengan selera pasar yang berangkat dari perspektif kecantikan setempat. Maka nilai yang merasuk dan kemudian diikuti bukan lagi selera yang melokal, melainkan sudah lintas negara. Tentu saja operasi plastik adalah hal yang memakan biaya relatif besar. Upaya lain adalah dengan melakukan diet, berolahraga, memutihkan kulit, hingga ke salon untuk hal-hal kecil lainnya.
Salahkah dengan itu semua? Tentu tidak. Sebab sebagai makhluk yang mengonsumsi dan memiliki perspetif terhadap nilai yang berlaku di sekelilingnya, maka mengikuti selera pasar adalah cara termudah meski kerap keliru. Semisal adanya asumsi bahwa orang bisa membentuk badan, mengecilkan perut dengan berolahraga. Padahal yang bisa dan efektif dilakukan adalah dengan menjaga pola makan secara ketat. Olahraga hanya sebagai supporting system dan pembentukan kebiasaan aktif yang menyehatkan. Nah, menjaga pola makan di era post-industrialism seperti sekarang ini jauh lebih berat; apa-apa tinggal pesan antar dan yang cepat saji sudah pasti junkfood yang bergula, plastik, pengawet dan sebagainya. Itu diributin? Orang lebih peduli kalo ada babik atau nggak di dalamnya. Jadi di satu sisi, manusia jaman sekarang dipancing untuk peduli terhadap tubuh tapi di sisi lain justru dicekoki dengan kebiasaan yang tidak sehat serta pilihan-pilihan terbatas dalam upaya menjaga tubuhnya.
Itulah salah satu wajah politik tubuh yang ada di masyarakat saat ini. Tentu saja urusan tubuh bukan soal asupan makanan atau perspektif tentang kepantasan. Politik tubuh juga mneyangkut bagaimana orang dididik atau tidak untuk mengapresiasi apa yang ada dan melekat secara sehat. Tubuh adalah ruang fisik yang mau tidak mau juga harus dihargai. Entah secara kesehatan medis, gizi, hingga seksual adalah bangunan atau konstruksi sistemik yang menjadi identitas seseorang. Bagaimana bisa menjaga diri secara sehat? Tentu saja bukan soal apa yang dimakan tapi juga apa yang dilakukan. Kalo sehari-hari cuma makan sampah, nggak peduli soal gizi, aktif seksual secara transaksional, jarang mandi, tidak merawat tubuh ya sudah pasti rentan penyakit. Wajah kisut, botak, buncit, bau badan dan kudisan. Gimana nggak ngeri. Sementara selera yang diikuti adalah selera pasar yang belum tentu cocok secara personal. Suntuk botoks, filler hidung hingga mutihin kulit dijabanin tanpa mempertimbangkan konsekuensi dan resiko selanjutnya. Udah gitu pilih yang termurah.
"There is more wisdom in your body than in your deepest philosophy." ~ Friedrich Nietzsche
Tubuh tidak lagi menjadi tuan yang dihormati, tapi budak yang disembah dan dipoles setengah mati. Politik tubuh yang keliru justru akhirnya mengajarkan idolisasi yang rentan. Padahal dengan menjadikan tubuh sebagai tuan; merawatnya baik-baik dan menjaganya secara konsisten lewat asupan, olahraga dan pola aktivitas yang tepat maka itu yang menjadi identitas personal sesungguhnya. Tapi nggak tau deh, kapan bisa nyadar. Asal nggak buru dipendam atau dibakar aja kan?