Sindrom Bayi Gajah (SBG) atau baby elephant syndrome adalah hal terkadang kita temukan di sekeliling atau bahkan mungkin pada diri kita sendiri. Nama itu berawal dari cerita bayi gajah yang terbiasa diikat dengan seutas tali dan sebatang tonggak kayu. Ikatan itu tetap tidak berubah meski si bayi gajah tumbuh besar dan menjadi gajah yang kuat. Logikanya, dengan kekuatan fisik yang ada tentu mudah melepas diri dari seutas tali dan sebatang tonggak kayu. Akan tetapi hal itu tetap tidak dilakukan. Mengapa? Karena pola pikir atau mindset si gajah tidak berubah sejak kecil. Dulu sewaktu masih bayi, ikatan itu membuat dirinya terbiasa berpikir bahwa ia tidak akan bisa melepaskan diri. Hingga dewasa ya ternyata pikiran itu tetap tidak berubah. Tetap menganggap ia tidak bisa melepas diri dari ikatan itu.
Sindrom yang sama memang biasa kita lihat ketika ada orang, atau diri kita tidak bisa mengubah pola yang sejak kecil. Apalagi sejak kecil dibiasakan dengan didikan yang begitu keras, tidak ada penghargaan, tidak ada dukungan, tidak terbiasa untuk punya empati yang tulus terhadap orang lain, tidak mampu bekerjasama dengan orang lain, atau bahkan menganggap semua orang adalah seteru. Atau sebaliknya dimanja, semena-mena, apa-apa tinggal minta, dan tidak mengenal batasan-batasan etis dalam tindakan. Konsekuensinya, sosok tersebut bisa tumbuh menjadi tidak sehat, manipulatif, melihat orang lain tidak bisa lebih baik dari dirinya, biasa drama, dan selalu melihat konflik adalah solusi di dalam relasi sosial.
Pola pikir semacam itu tidak berubah meski sosok tersebut bertumbuh dewasa, punya keluarga dan kembali membawa mengulang efek sindrom kepada orang yang di sekitarnya. Secara logis bisa jadi yang bersangkutan tau bahwa ada yang keliru, ada pembelajaran etika, ada apengetahuan yang didapat sehingga bisa membedakan mana yang benar atau tidak benar. Akan tetapi efek sindrom sudah menjadi mentalitas yang kemudian membuatnya semakin cupet dan buntu. Tau bahwa untuk bisa sukses harus mengejar segala hal dengan serius, tau untuk bisa berhasil adalah memperluas zona nyaman, tau untuk bisa mengubah nasib harus ada yang dikerjakan secara lebih. Meski demikian ternyata nggak gampang. Ada perasaan inferior dan takut untuk melakukan, ada keyakinan bahwa tali dan tonggak kayu itu tetap menjadi bawaan, sehingga ketika melihat apa yang terjadi di sekitarnya adalah hal yang tidak dapat dikendalikan, dipahami atau dijalani maka itu semua adalah ancaman.
Maka nggak heran, ada orang yang sebenarnya tau menjadi bijak tetapi tidak bisa bijak dalam pilihan. Sedemikian kuatnya SBG di dalam dirinya sehingga untuk berpikir berubah pun menjadi sulit. Konsekuensinya ya kembali kepada cara lama; tetap masih membayangkan diri di dalam ikatan, tetap nyaman dalam alam pikir yang tidak berubah. Jika muda biasa dimanja ya selamanya akan berpikir bahwa segala sesuatu akan mudah diperoleh. Jika sulit, itu nggak masuk skenario. Jika ada yang beririsan, maka itu ancaman. Akhirnya ya nggak kemana-mana juga kan? Nyaman dengan habitat yang diharap bisa aa selamanya. Enak dengan situasi yang stagnan, Nikmat dengan kebekuan.
"Some people don't like change, but you need to embrace change if the alternative is disaster." ~Elon Musk
Padahal dunia terus bergerak tanpa henti, dan jujur saja; tanpa ampun. Bagi mereka yang males gerakin pantat untuk mengerjakan lebih dari apa yang dilakukan ya sayonara bai-bai. Gajah makin menua dan akhirnya mati dengan tali dan tonggak di sampingnya. Merasa besar dan kuat, tapi nggak kemana-mana. Pikiran nggak berubah. Menjadi gajah besar, tapi selamanya jadi bayi gajah; tetap main di sirkus yang sama, bertahun-tahun tanpa pernah ada kesempatan lain. Tetap dalam gerombolan yang serupa, dengan ruang dan akss yang tak pernah berubah. Lantas bagaimana bisa melepas diri dari SBG itu? Kesadaran yang tidak pernah diikuti dengan tindakan, mana ada yang berubah. Alih-alih ingat, justru malah bisa jadi reaktif dan defensif. Bahaya banget kan? Tiati.