Internet di Endonesah itu sebenarnya jadi paradoks; di satu sisi orang butuh kecepatan tinggi, biaya murah dan akses mudah untuk ragam kepentingan, tapi di sisi lain orang kuatir akan ekses yang menyertainya seperti pornografi, kecanduan game online, aplikasi dan program bajakan, lagu dan film sedotan, dan lain-lain. Di satu sisi individu butuh komunikasi untuk mendukung mulai dari keperluan pekerjaan, bisnis hingga pribadi, tapi di sisi lain pemerintah menerapkan batasan entah dengan ragam alasan. Semisal pembatasan di daerah seperti Papua jelas lebih bersifat politis ketimbang di belahan barat Indonesia yang lebih karena konten pornografi dan sejenis.
Padahal internet kini nyaris jadi kebutuhan hampir semua warga di Indonesia. Beberapa riset pasar di tahun 2020 memperlihatkan bahwa biaya yang dikeluarkan per individu untuk mengakses internet antara 50 hingga 100 ribu Rupiah. Untuk keluarga antara 50 hingga 300 ribu Rupiah. Pada tahun ini nominal tersebut bisa lebih besar lagi mengingat koneksi dan perluasan jaringan internet sudah semakin meluas. Meski sebagian besar masih mengandalkan ponsel ketimbang laptop atau PC, orang mengandalkan Whatsapp untuk berkomunikasi. Sementara itu platform media sosial secara berturut yang digunakan mulai dari terbanyak adalah Twitter, Tiktok, Youtube, Instagram dan Facebook. Akan tetapi yang membetot perhatian di sini bukan saja soal kepemilikan tetapi juga perilaku. Dari proses penyebaran hoaks seperti berita palsu, hanya 11,2% responden yang pernah mengakui pernah melakukan. Dari jumlah itu, sebanyak 64% menjawab hanya meneruskan berita tanpa pernah memeriksa konten. Dengan kata lain, jempol gampang banget untuk melakukan sharing tanpa disaring.
Perilaku kemudian bertumbuh kembang menjadi semakin tidak bertanggung jawab. Ada yang demen trolling, bullying, hingga ghibah di dunia maya. Ada juga yang demen sedot bokep, serta multi media lain secara ilegal, ada juga yang menjadikan media sosial sebagai alat kampanye politik keagamaan bahkan lewat platform seperti Tiktok. Dengan ragam perilaku tersebut, pemerintah sudah menetapkan payung hukum berupa UU ITE. Cukupkah? Tentu saja dirasa tidak. Maka pembatasan seperti pornografi dilakukan secara massif dan pastinya berbiaya mahal dengan pengadaan server. Efektifkah? Jelas tidak. Sebab hal semacam itu nggak mungkin bisa dibatasi. Situs pornografi tumbuh seperti jamur. Diblokir satu, tumbuh seribu. Lain halnya dengan situs yang juga mengandung unsur pidana seperti judi bola atau money game, di mana pemerintah kudu terima laporan dulu baru segera blokir. Atau situs penipuan seperti phishing dan scamming yang memperdaya orang untuk memberi data pribadinya.
Dengan kata lain, paradoks lain adalah di satu sisi pemerintah gencar proaktif melarang pornografi meski tau sebenarnya itu nggak efektif dan di sisi lain lamban mengurusi bentuk kejahatan lain di dunia maya yang harus melalui proses aduan terlebih dahulu. Padahal pembatasan di jaman sekarang semakin nggak guna karena penggunaan Virtual Private Network atau VPN baik secara gratis disediakan oleh browser atau premium berbayar. Apakah VPN cuma dipake buat ngakses bokep? Jelas nggak. Banyak juga yang menggunakan VPN untuk membuka situs legal maupun ilegal yang dibatasi. Contoh situs legal adalah Reddit yang nggak bisa dibuka di Endonesah. Itu adalah forum yang digunakan untuk tanya jawab macem Quora. Oleh pemerintah diblokir karena dianggap bisa menyebarkan gambar porno. Padahal orang buka Reddit buat mencari tahu informasi yang dibutuhkan berbasis tanya jawab. Lucu kan? Sementara yang ilegal adalah situs seperti torrent untuk menyedot berbagai files seperti dokumen, lagu, film yang memang melanggar hak cipta. Penggunaan VPN sendiri juga punya resiko. Pertama, koneksi internet jadi lelet, rentan terhadap serangan virus, dan bisa jadi diarahkan ke berbagai macem websites yang mengandung penipuan. Kedua, rawan terhadap pencurian data pribadi. Meski premium berbayar, emangnya kalo sudah berhenti berlangganan trus datamu dihapus gitu? Malah bisa dioper ke pihak lain macem sales internet yang tau-tau ngirim sms atau pesan sedia jasa pasang berdiskon.
Dengan mengasumsikan bahwa rakyat Endonesah harus dijaga moralnya dari bahaya pronografi dan sejenisnya itu, sebenarnya secara tidak langsung mau bilang bahwa orang kita di mari itu nggak pernah bisa dewasa. Tidak pernah ada upaya edukasi yang serius ketimbang larang melarang. Bahkan di level keluarga bisa jadi cuma "pokoknya nggak boleh" tapi tidak pernah diperlihatkan resiko kecanduan. Bisa jadi malah cuma pornografi yang dianggap momok, sementara kecanduan game online nggak terlalu diperhatikan. Lha bapaknya aja masih main kok, gimana anaknya? Itulah sebabnya juga budaya praktis serba instan juga menunjukkan bahwa pemberian gawai kepada anak di bawah umur adalah solusi agar nggak cepet rewel, bisa beralih perhatian serta nggak bikin repot orang tua. Kecil-kecil dah maen gadget, terus dipamerin dan bangga gitu serasa dah melek teknologi? Tidak ada juga kesadaran dan edukasi terhadap penggunaan perangkat teknologi pula. Konsekuensinya jelas merambah kepada urusan lain seperti pemahaman terhadap seksualitas, interaksi sosial bahkan juga paradigma berpikir yang begitu dependen terhadap ponsel.
Jadi pemetaan masalahnya sudah jelas; baik penguasa maupun rakyatnya ogah ribet dalam urusan teknologi. Pengen menikmati, tapi sekaligus juga ngeri-ngeri sedap bodo amat melihat resikonya. Maka jalan yang dipilih adalah solusi gampang. Gimana nggak repot ngatur ratusan juta orang dengan akses yang semakin mudah sementara perbokepan nggak bisa punah? Padahal itu baru ujung kecil dari seksualitas yang emang udah dasarnya juga sama-sama bejad di dunia nyata. Ngelarang pornografi tapi diem-diem maen judi bola dan investasi ilegal. Kampenye onlen anti LGBTQ tapi gapapa kalo nambah banyak bini atau ngawinin bocah. Nganjurin untuk anti hoaks tapi ghibahin tetangga tetep jalan. Lantas apa yang sinkron itu kelakuan?
“An Idea is nothing but Information, It won't do us any harm until we accept it as perception of truth in our mind, which in time will potentially evolve and construct major events in history.”~ Djayawarman Alamprabu, Feared Intellectualism
Maka penggunaan teknologi internet itu jelas butuh kecerdasan ekstra. Kalo yang gaptek, nyolot dan fakir pulsa serta data, ya minggir aja dulu. Sementara yang mampu sekali pun masih kudu banyak belajar. Kontrol diri itu adalah prasyarat umum dan dasar di dalam berselancar di dunia maya. Belajar untuk kagak baperan, belajar untuk nggak dikit-dikit ngebacotin apa aja di mana aja, belajar untuk nggak mudah pamer, belajar untuk menggunakan waktu seperlunya, belajar untuk nggak ketergantungan terhadap benda maupun aplikasi, belajar untuk mulai meyeleksi semua informasi dan data yang masuk, belajar untuk nggak gampang ngacengan lihat barang bugil, belajar untuk nggak ketipu barang bodoh, belajar untuk nggak mudah penasaran gegara dilarang malah jadi tertantang dan asyik, belajar untuk nggak gampang sange' ngelihat foto doang, sama belajar mengelola ekspektasi terhadap semua tampilan di alam maya.
Susah? Pasti. Kalo gampang sih udah nggak gampang masuk ke dalam rombongan netijen panatik kelas berat yang dikit-dikit nunggu apa komentar Lestih Kejorah atai Coach Justin kan? Masa lagi-lagi lu ngandelin keputusan pemerintah buat menjadi dewasa. Aneh.