Ketika berinteraksi dengan seseorang, biasanya butuh waktu yang tidak sebentar untuk bisa mengetahui karakter aslinya. Ini berarti bahwa interaksi yang dibangun tidak cukup hanya dengan sekali dua kali ketemu. Jika kemudian bisa memberi pernyataan bahwa hal itu bisa cukup tahu untuk menilai, tentu saja aneh kan? Meski demikian, perjumpaan sekali dua kali jika cukup mendalam seperti interaksi dalam perihal kerja, organisasi atau bisnis dapat menunjukkan bagaimana watak seseorang yang sesungguhnya. Ini jelas beda jika niatnya hanya berteman biasa atau cari pasangan. Sudah pasti akan tertutup oleh promosi atau marketing gimmick yang bersangkutan lantaran ingin 'jual diri' agar laris populer laku diterima oleh orang lain. Lantas bagaimana caranya bisa mengenali karakter seseorang yang sesungguhnya?
Cara pertama adalah dengan melihat bagaimana ia memperlakukan orang-orang yang berada di bawahnya. Ini bisa berarti mereka yang bekerja langsung seperti staf atau sistem pendukung, tetapi juga dapat mereka yang secara fungsional berinteraksi dalam konteks servicing atau pelayanan seperti waiter, supir dan lainnya. Kalo yang bersangkutan bersifat arogan, tengil, bossy, atau imperatif tanpa alasan yang jelas bahkan cenderung meremehkan maka ya begitulah isinya. Sebaliknya, mereka yang di bawah dan tidak bisa menerima instruksi, arahan, atau koordinasi yang jelas dengan membangkang, balik punggung atau membantah tanpa maksud yang jelas ya sama saja. Maka relasi kerja yang membutuhkan kooperasi adalah cara mudah untuk melihat karakter seseorang. Bisakah ia diajak bekerjasama? Bisakah ia memahami tujuan dari kerja? Sanggupkah untuk menyingkirkan ego dan mengedepankan tujuan? Nggak mudah ternyata. Dalam sehari-hari, bentuk yang lebih praktis dan mirip adalah berpergian bareng seperti baik gunung atau perjalanan jauh. Kerjasama dan pengertian jadi sikap yang paling mahal untuk melihat karakter seseorang apakah mengasyikan, berinisiatif, memberi semangat atau sebaliknya malah nyebelin, malas dan terima jadi doang.
Cara kedua adalah ketika seseorang berhadapan dengan uang. Bagaimana ia memperlakukan uang adalah cermin karakter memperlakukan orang lain. Apakah ia hemat, selektif, punya rencana, memikirkan investasi, atau sebaliknya boros, cenderung kikir, pengonsumsi yang impulsif demen beli barang nggak guna, nggak pernah simpan uang, habis begitu saja? Ketika ia berhadapan dengan orang lain dalam konteks duit apakah bisa jujur terbuka atau sebaliknya pelit dan makan sendiri. Sebab banyak orang yang bisa fair dengan cara pertama, tapi nggak ada ampun jika berurusan dengan duit. Kemampuan kerja seseorang nggak ada urusannya dengan kapasitas atau keinginannya untuk bisa menjadi tega jika soal bagi rejeki. Apalagi soal cuan ini memang sengsitit; bisa bikin orang ribut meski sudah menganggap teman. Banyak kerja, organisasi dan bisnis bisa bubar lantaran tidak ada keterbukaan soal manajemen keuangan. namanya serakah, korup ujung-ujungnya cuma bisa bilang khilaf eh kumat lagi.
Cara ketiga adalah ketika seseorang bereaksi terhadap kesalahan yang dilakukannya. Apakah ia menyangkal mati-matian? Apakah ia diam saja? Apakah ia menerimanya? Jika menerima apakah sungguh berjanji untuk tidak mengulangi, memperbaiki atau malah sekedar janji? Sebab kualitas karakter seseorang juga dapat dilihat dari rekasi tersebut mulai dari level terendah yakni menyangkal, hingga level tertinggi yakni melakukan perbaikan. Kesalahan adalah yang hal wajar jika tidak disengaja dan merupakan bagian dari proses pendewasaan dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, kesalahan adalah cermin sejauh mana orang mau mengambil tanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Hal terburuk dalam konteks ini bukan saja yang bersangkutan menyangkal mati-matian, tetapi juga menyalahkan orang lain. Bayangkan jika rasa malas yang berakhir kepada kegagalan kemudian membuat orang lain harus bertanggung jawab kepada hidupnya. Atau merasa bahwa upaya pencitraan yang selama ini dibangun, tetiba terbuka aslinya dan menuding itu disebabkan orang lain. Sangat reaktif jadinya. Bahaya banget kan?
Cara keempat adalah ketika seseorang berdebat dengan orang lain. Dalam konteks kerja, organisasi atau bisnis, mencari kata sepakat atau tidak sepakat dilakukan dengan argumentasi. Tujuannya sudah pasti mencari jalan terbaik dalam arti bisa mana yang paling efektif atau efisien sebagai sebuah solusi bersama. Akan tetapi tidak semua orang sudah melalui proses pendewasaan yang sama. Konsekuensinya, berargumen sering dianggap sebagai sesuatu yang destruktif bahkan personal. Ada yang males berargumen, balik punggung, 'cari aman', iya-iya aja tapi ngedumel di belakang. Ada juga yang mencari konflik bahkan setiap argumen dianggap perselisihan dan personal. Baginya, ini sudah jadi urusan pribadi dan bukan lagi soal kerja, organisasi atau bisnis. Gimana nggak rempong tuh? Tapi begitulah kenyataannya sehingga sebuah proses bisa jadi lamban gegara harus menolerir hal-hal semacam itu. Isi kepala setiap orang yang berbeda-beda bisa membuat sebuah kerjasama dapat dinegosiasi untuk memperoleh kesepakatan, atau sebaliknya jadi kontraproduktif gegara tidak ada kesamaan pendapat untuk mencari solusi.
Cara kelima adalah ketika seseorang berhadapan dengan masalah, terutama yang dibuatnya sendiri. Apakah ia kemudian mampu menyelesaikannya sendiri tanpa memberitahu orang lain? Apakah ia meminta bantuan? Bagaimana caranya minta tolong? Apakah ia berpangku tangan, menganggap bahwa masalah akan selesai dengan sendirinya? Atau jangan-jangan sama seperti cara ketiga, membuat orang lain harus menyelesaikan dan membangun perspektif bahwa lagi-lagi itu bukan kesalahannya. Itu sama kayak orang lapar sebagai problem primer di dalam hidup. Alih-alih bekerja serius cari makan, ini malah minta disuapin. Udah gitu pamer bahwa makanan yang diterima adalah sesuatu yang gratis, enak dan keterusan.
"Our attitude can be seen in our character, how we approach things, what our beliefs are, our perspective on issues, how we approach life, our position on topics, basically our view on life." ~Catherine Pulsifer, Attitude Determines Everything
Jadi seburuk-buruknya karakter orang ketika berinteraksi adalah mereka yang pemalas, terbiasa menadah tangan, menyalahkan orang, tetapi tidak pernah berpikir bahwa dirinya adalah sumber masalah yang harus diperbaiki. Tentu saja itu tidak mungkin karena segala sesuatu dianggap berpusat kepada diri sendiri. Jika ada kekeliruan, kesalahan atau proses yang menghambat maka itu dianggap bersumber pada orang lain. Jadi dalam konteks kerja, organisasi atau bisnis, karakter semacam itu memang sudah sepatutnya dihindari. Apalagi dalam relasi personal yang dianggap tidak terlalu beresiko. Padahal pertemanan bisa jadi sumber masalah bersama yang menyebabkan seseorang tidak pernah mengalami kemajuan yang berarti. Wajar saja, sebab jika habitatnya diisi oleh mereka yang berkarakter buruk tentu akan punya imbas kepada siapapun yang awalnya cukup baik dan berbeda. Sama pula dengan relasi yang lebih intim. Baik lelaki atau perempuan, bakal kaget ketika pasangannya nggak pernah serius, tidur doang bangun siang, ogah kerja keras, pelit tapi minta mulu, demen ngajak ribut, tukang bo'ong, bikin masalah, berasa super tapi ujungnya gembel. Makanya jangan beli kucing dalam karung dong ah. Atau jangan-jangan karakter semacam itu sebenarnya sudah melekat lebih dulu pada diri sendiri? Nah!