Kalo ditanya soal apa ukuran pencapaian tertinggi di dalam hidup, maka semua orang akan punya jawaban berbeda-beda. Ada yang bilang bahwa itu adalah soal banyaknya harta, ada juga yang mengatakan soal pendidikan, ada juga yang omong soal karir. Meski setiap tahapan di dalam pencapaian itu layak dirayakan seperti naik pangkat, naik jabatan, bertambah gelar, atau makin terisi rekening, tapi sebenarnya bukan itu. Tahapan-tahapan demikian hanya bersifat sementara. Bisa naik lebih tinggi lagi, bisa mentok, bisa pula terjungkal. Sebab umumnya orang tidak merencanakan secara luas dan pasti terhadap segala kemungkinan yang akan dikira sulit untuk dipikirkan. Dengan kata lain, mata hanya memandang lurus ke depan. Jarang yang tolah toleh lihat ke samping atas bawah apalagi ke belakang. Mengapa? pencapaian dianggap sebagai sesuatu yang linier. Dikejar habis tapi kadang lupa esensinya.
Misalnya saja yang beranggapan bahwa pencapaian tertinggi adalah kalo punya kepemilikan dan duit sekian sekian. Padahal mengumpulkan harta juga bisa beban jika tidak digerakkan. udah bayar pajak, biaya perawatan, lama-lama karatan juga. Jadi ada penyusutan nilai yang tidak dapat dihindari. Sama halnya dengan pendidikan. mengejar hingga yang tertinggi tapi sehabis itu nggak ngapa-ngapain. Cuma duduk manis dan gelar cuma dipake buat undangan nikah. Menulis tidak, mengajar gitu-gitu doang, riset apalagi nggak pernah. Lama-lama ilmunya juga nggak berkembang. Soal karir juga gitu. Ada yang udah keburu senang naik jabatan. Padahal tugas dan tanggung jawab bertambah berat dan kadang tidak seiring dengan pendapatan. Ada juga yang memang sengaja ditendang ke atas supaya nggak banyak cingcong. Kalo pun gajinya naik, pengeluaran juga ikut naik. Ini bicara soal kepantasan. Masih staf nyicil motor, ajdi manajer merasa harus punya mobil. Naik pangkat juga sama saja. Merasa jadi pencapaian hingga akhirnya punya konsekuensi mentok di jalan karena kalah bersaing dengan yang lain di dalam hirarki dan piramida struktur organisasi. Kalo pun sampai tertinggi, biasana juga nggak lama sebelum pensiun dan mati pikun kebingungan gegara post power syndrome.
Kenapa bisa begituya? Pertama, banyak orang terlalu fokus untuk megejar sesuatu yang tangible, terlihat dan ada di depan mata. Mereka lupa bahwa pencapaian tertinggi secara ideal adalah mengisi segala aspek di dalam hidup. Orang harus punya dan mengasah beragam keahlian, kepiawaian dan kemampuan bukan saja untuk mencari tapi mengelola yang dimiliki. Orang harus bisa memperkaya diri bukan cuma soal materi, ilmu, atau ukuran yang terlihat melainkan dari subtansinya. Punya banyak duit kalo nggak bisa mengelola dan memanfaatkannya dengan baik jadi percuma. Punya gelar kalo ilmunya nggak dipake secara maksimal untuk melakukan inovasi ya sama aja bo'ong. Punya pangkat dan jabatan tapi malah jadi tengil belagu bahkan hanya berfokus pada diri ujungnya mati kesepian.
Kedua, fase di dalam hidup yang mengedepankan pencapaian semacam itu juga membuat cara pandang menjadi sempit dan tidak bisa menikmati. Katakanlah banyak yang pake jargon bahwa ada pembelajaran di dalam setiap fase pahit atau manis. Tapi itu cuma jargon doang untuk menghibur diri. Rasa tidak puas tetap terus tumbuh dan akhirnya bikin sesak. Mau sekaya apapun, gelar apapun, pangkat dan jabatan tinggi, tapi malah jadi parno dan sibuk untuk bersikap defensif gegara kuatir apa yang sudah digenggam akan lepas cepat atau lambat.
“Be ashamed to die until you have won some victory for humanity.” ~ Horace Mann
Lantas apakah pencapaian semacam itu salah? Jelas tidak. Orang memang harus punya ukuran soal keberhasilan yang terlihat. Menjadi kaya, terpelajar dan terhormat adalah tujuan mutlak yang harus bisa diraih di dalam hidup. Masa iya mau jadi gembel miskin kere bodoh dan ditertawakan orang? Tapi memberi definisi tujuan hanya sekedar harta, gelar, pangkat dan jabatan itu keliru. Orang berharta belum tentu mampu mengelola aset seperti orang kaya. Orang berpendidikan belum tentu juga terpelajar dan pake otak. Orang berpangkat dan punya jabatan belum tentu juga dihormati jika semena-mena. Nah, dirimu sudah sampai mana?