Hidup di negara plus enam dua itu unik. Nyaris kita tidak pernah tidak tau akan situasi di sekeliling. Berita begitu cepat menyebar, gosip dengan sejumlah bumbu tetiba sudah ada dimana-mana. Itu pun tidak pernah diketahui sumbernya, bahkan bisa jadi orang yang paling aktif bercerita kemudian juga akan menjadi bahan cerita. Dengan situasi macam itu, maka orang suka skeptis kalo butuh pengamanan seperti CCTV. Mengapa? Segerombolan orang yang duduk nongkrong di persimpangan jalan kompleks, entah bapak-bapak ronda atau emak-emak rumah tangga terbukti efektif untuk melakukan tindak pengawasan. Jangakan orang yang dikenal, orang asing yang numpang lewat atau parkir kagak permisi pun tidak luput dari pemantauan.
Dengan demikian, istilah kepo pun nggak pernah lepas dari para penggunjing, ghibah dan obrolan santai tapi serius dipikirin. Oh ya, kepo seringkali dimaknai sebagai Knowing Every Particular Object atau tau segala hal sekecil-kecilnya. Padahal kata Kepo adalah serapan dari bahasa Hokkien yakni Kay Poh yang berarti rasa ingin tau terhadap orang lain. Ke adalah bertanya, Po adalah Apo atau nenek-nenek. Jadi merupakan deskripsi tentang orang tua yang mau tau aja urusan orang lain. Terlebih kultur orang Asia Tenggara seperti plus enam dua adalah sangat kolektif komunal. Mana ada orang bisa sendiri mandiri. Tetep aja dianggap butuh orang lain. Meski nggak butuh, ada aja yang nmenghampiri dan keramahan ala-ala Asia pasti keluar. Udah makan belum? Sama siap? Kok sendirian? Blom punya pacar? Oh istri/suaminya kemana? Kerja dimana? Dulu tinggal dimana? Kok pindah kemari? Ada yang udah dikenal? Sampailah terakhir pada pertanyaan pamungkas nan seru yakni "Situ agamanya apa?".
Meski sudah mengaku liberal, independen, terbuka, terdidik sekalipun tapi pertanyaan soal agama adalah ciri khas orang Endonesah. Segala sesuatu disangkutpautkan dan bermuara kepada agama. Mengapa? Sebab agama adalah hal yang paling mudah untuk dijadikan sebagai proses identifikasi guna menentukan langkah selanjutnya. Perasaan takut salah atau keliru dalam memandang orang akhirnya menggunakan agama sebagi rujukan. Misalnya soal suguhan makanan atau minuman, soal pakaian, soal perilaku, dan hal-hal sekecil apapun. Agar tidak salah atau keliru, maka agama jadi patokan awal untuk mencari persamaan sekaligus perbedaan. Jika sama dan tidak sesuai, maka kritik bisa muncul. Jika beda sekalipun,bisa jadi akan berjarak. Selain itu, identifikasi berdasarkan agama adalah untuk memperjelas, namun sekaligus juga megaburkan. Kalo jelas beda agama, ya akhirnya ada batasan-batasan yang sengaja dibuat agar tidak mau tau. Kalo sama, ada legitimasi atau pembenaran untuk menegur. Lucu kan?
Itulah sebabnya orang Endonesah demen dengan acara kumpul-kumpul yang dianggap sejenis. Semisal, sama-sama pernah kerja satu kantor, sama-sama tinggal di kompleks, pernah sekolah bareng, atau ada kegiatan bareng. Bahkan hal yang temporal sekalipun seperti kepanitiaan, nggak akan lengkap tanpa pembubaran panitia. Bayangin aja, sekolah bareng paling tiga tahunan, pisah puluhan tahun tapi begitu reuni masih pake referensi lama. Padahal sudah pasti dalam puluhan tahun ada orang yang sudah sangat berubah atau bahkan masih gitu-gitu aja. Kegiatan yang dilakukan pas kumpul ya makan-makan, karaokean hingga arisan. Semangat kolektif komunal semacam itu pada akhirnya juga renggang ketika jarak waktu yang sudah terlalu jauh, atau lokasi yang terpisah. Semua kembali ke laptop masing-masing. Maka pada saat Sikopid menggila kemarin, aktivitas macem kumpal kumpul jadi tersendat. Buat mereka yang demen begituan, sungguh terasa menyiksa. Nggak bisa nongkrang nongkrong. Pas mereda, jadi semacam ada pelampiasan tertentu. Apalagi generasi yang lebih tua; berasa sengsara nggak bisa ketemuan.
“Always remember that you were once alone, and the crowd you see in your life today are just as unecessary as when you were alone.” ~ Michael Bassey Johnson
Jadi memang hidup di negara ini tidak punya privasi. Buat mereka yang terbiasa sendiri malah jadi sengsara; dianggap jutek, kudet, nggak gaul, egois dan introvert sekalian. Padahal sikap terlalu ingin tau secara berlebihan ditambah dengan kolektif komunal kumpal kumpul itu justru mengikis identitas yang sesungguhnya. Orang tidak lagi diapresiasi berdasarkan ciri individualnya. Jika semua dianggap sama, maka apa bedanya? Mental yang sama juga ada ddi dalam struktur birokrasi dan administrasi. Dengan bocornya banyak data baik pelanggan, konsumen, nasabah, atau masyarakat pada umumnya membuktikan bahwa regulator nggak peduli-peduli amat urusan itu. Tapi begitu ada hacker yang bocorin data pribadi pejabat, langsung kebakaran jenggot dan undang-undang perlindungan data pribadi kontan kelar diketok palu. Lantas mau bagaimana?