Rasa takut adalah hal yang wajar dalam diri manusia. Takut gagal, takut pisah, sepi, bahkan takut miskin, meski nggak ada yang ngaku takut kaya kan? Disebut wajar karena takut adalah bagian dari insting manusia untuk mempertahankan diri. Dengan rasa takut, orang menjadi terdorong untuk berusaha menyelamatkan diri, mengantisipasi setiap kemungkinan, bergerak preventif dan dengan segala cara mengupayakan agar ketakutan itu tidak terwujud.
Pada tahap itu, takut masih berupa kecemasan. Cemas terhadap sesuatu yang belum terlihat. Bukankah gagal, pisah, miskin dan sejenisnya adalah benda yang tak terlihat? Beda dengan takut sama gelap, harimau, begal, cacing, kadal, playboy kurap dan sederet wujud lainnya. Takut terhadap yang terlihat bisa berujung kepada alergi hingga trauma fisik. Nah penanganan terhadap hal ini juga butuh terapi tertentu agar rasa takut itu tidak semakin membesar dan dapat dikontrol untuk mengatasinya.
Akan tetapi takut pada sesuatu yang tidak terlihat atau kecemasan itulah yang justru lebih banyak dirasakan dan tidak dibicarakan. Insting manusia hanya mendeteksi dan menghasilkan sinyal kecemasan namun tidak menyiapkan diri harus bagaimana terutama di jaman sekarang seperti ini. Padahal kecemasan adalah pertanda awal yang menjadi pintu masuk terhadap ketakutan yang berpengaruh secara fisik. Misalnya, pada saat tidur tubuh kita tetiba bergerak sendiri seolah takut jatuh hingga kemudian mendadak terbangun. Itu adalah insting bawaan sejak jaman nenek moyang, ketika mungkin masih tidur di pohon untuk mengurangi resiko ancaman binatang buas. Dengan insting tersebut, tubuh manusia sebenarnya masih punya sisa-sisa mekanisme pertahanan tubuh untuk mengirim alarm yang kemudian berujung kepada ketakutan. Atau misalnya yang lebih sering adalah saat bulu kuduk berdiri, dimana kita merasa terganggu dengan kehadiran, atau apapun yang dipersepsi oleh insting sebagai ancaman. Entah ada hantu atau orang di pojokan gelap sana, tau-tau merinding aja dibuatnya.
Kenapa disebut sisa? Sebab naluri telah lama ditindas dan digantikan oleh akal sehat yang terus menerus diasah lewat pendidikan, komunitas dan lingkungan. Akal sehat menawarkan solusi drastis terhadap rasa takut sekaligus merepresi atau menekan habis insting yang kita punya. Dampaknya adalah seolah akal sehat mengajarkan orang untuk meniadakan rasa takut. Semua bisa dihadapi, semua ada solusi. Maka jadilah manusia yang mungkin pura-pura atau dipaksa berani. Padahal ini jelas membuat orang jadi tumpul. Seperti halnya di medan pertempuran; siapa nggak takut peluru, tertembak dan mati? Justru orang yang mungkin bisa selamat adalah yang kemudian mengelola rasa takut dan menjaga pergerakan, ketimbang yang berteriak berani dan menerjang ke depan.
"Insting nggak pernah bohong, nalar bisa melakukan pembenaran dan perasaan bisa menipu dengan hal yang indah namun semu." ~FRS
Dengan demikian, insting menjadi penting untuk mengirim sinyal, memberi tanda, dan kemudian akal sehat atau nalar wajar itu membatasi diri agar manusia tidak ceroboh bisa bertindak, berusaha sebaiknya dengan modal ketakutan. Alih-alih pura-pura berani dan memaksakan diri, bukankah lebih baik berhitung dan tidak ada salahnya menunggu untuk mengelola ketakutan hingga dapat melepas diri dari ancaman yang dihadapi? Contoh yang sering kita lihat adalah takut miskin. Memberi definisi miskin secara sempit berupa kepemilikan yang terbatas, atau kemudian melihat kemiskinan menjadi ancaman massif kemudian bisa membuat orang menjadi gugup, nervous dan berusaha untuk tampil sebaliknya yakni kaya sesuai dengan persepsi yang dibangun. Padahal miskin dan kaya tidak sesederhana itu. Nalar wajar yang ada kemudian menyusun skema esktrim agar bisa lari dari kemiskinan. Bisa kaya? mungkin. Akan tetapi outputnya adalah orang kaya baru yang alergi miskin, tampil norak, buang duit dan seterusnya. Kalo pun gagal menjadi kaya menurut persepsinya, ya pura-pura kaya. Bayangkan jika dfinisi kekayaan dipahami sebatas soal materi. Bagaimana dengan rasa sedih? Ntar yang ada malah pura-pura bahagia.
Jadi yang terpenting adalah mengelola rasa takut terlebih dahulu dengan percaya kepada insting dan diri sendiri. Insting nggak pernah bohong, nalar bisa melakukan pembenaran dan perasaan bisa menipu dengan hal yang indah namun semu. Jika mau hidup sehat, bahagia, tidak kurang sesuatu ya akan ada jalannya dengan melihat diri sendiri terlebih dahulu. Rasa takut adalah hal yang wajar dan harus dipeluk, sebab ia menjaga manusia dan membuat tetap waspada. rasa takut jangan pernah dibuang. Nggak ada sejarahnya orang yang berlagak berani, mengorbankan zona nyaman seketika gegara mau lepas dari ketakutan, kemudian bisa berhasil. Gagal semacam itu justru akan mengibarkan ketakutan yang lebih besar lagi. Dengan melihat dan mengukur diri, maka ancaman-ancaman yang muncul bisa diukur secara proporsional. Takut hanya memberi peringatan. Meski peringatan tidak bisa diremehkan, tidak semua pula harus diantisipasi dengan pukul rata. Sama kayak CCTV, masa' kucing lewat diperlakukan sama dengan maling? Kan kagak.
Dengan sikap berimbang maka orang tidak akan menjadi penakut; menanggapi semua ancaman secara serius sampai nggak bisa ngambil keputusan apapun, atau menjadi pura-pura berani; hajar bleh urusan belakangan. Penakut buang kesempatan, si pura-pura berani buang energi. Ujungnya sih sama. Tambah takut dan nyesal kemudian. Emangnya mau begitu? Jangan lah.