Jaman sekarang orang nggak pernah bisa lepas dari ponselnya. Kalo bisa 24 jam nyala terus. Sangat sedikit mereka yang kemudian mematikan ponsel pada jam-jam tertentu seperti malam hari saat menjelang istirahat. Lebih sedikit lagi mereka yang puasa pegang ponsel alias tidak melihat dan mematikan pada hari-hari tertentu. Biasanya malah ganti nomor ponsel lain. Apalagi sebagian punya kebiasaan untuk memiliki lebih dari satu ponsel. Ada yang buat nomor pribadi, ada yang untuk kepentingan kerja atau bisnis. Tapi mau kayak gimana, tetap saja mata tidak lepas dari genggaman kan?
Kebiasaan semacam itu kemudian menimbulkan istilah baru yakni phubbing, yang merupakan singkatan dari phone snubbing. Istilah ini muncul di Australia sejak tahun 2012, dan tiga tahun kemudian sudah mulai banyak penelitian yang membahasnya. bahkan pada tahun 2018, definisi tersebut diperjelas dengan myatakan sebagai tindakan seseorang untuk menatap ponselnya ketimbang memperhatikan orang lain. Jika ditelusuri lebih jauh, kebiasaan semacam itu sebenarnya bukan muncul pada saat jaringan internet, paketan data atau kemampuan jelajah media sosial baru ada. Bahkan jauh lebih lama lagi, yakni ketika ponsel marak di Indonesia sejak menjelang milenia ini.
Kok bisa? Awalnya ponsel masuk di Indonesia tahun 1984. Saat itu baru orang tertentu saja yang punya dengan provider dari negara tetangga. Baru di tahun 1990-an mulai marak penggunaan dengan bodi dan kartu ponsel yang semakin mengecil. Dengan semakin banyaknya ponsel, maka posisi benda ini jadi penting sebagai status sosial. Makin keren kalo dipamerin, makin dilirik jika digenggam. Fenomena semacam ini jadi tambah booming ketika muncul Blekberi; jenis ponsel yang awalnya buat para sekretaris untuk kepentingan kerja supaya bisa bales e-Mail, kemudian jadi mainan anak muda dan emak-emak buat berghibah.
Ketika dalam satu dekade terakhir penggunaan data lebih merakyat ketimbang pulsa, maka jelajah internet jadi semakin mudah lewat ponsel. Apa saja yang muncul baik lewat situs pencari hingga media sosial dilahap habis tanpa berkedip. Kebiasaan ini kemudian membuat gaya hidup dan perilaku juga berubah. Orang menjadi zombie; berjalan secara sambil mata tidak lepas dari layar ponselnya. Sampai di situ? Tentu tidak. Aktivitas bukan kerja seperti sambil makan, menjelang tidur juga tetap dilakukan. Maka jadilah bentuk ganda antara status sosial yang sudah melekat dan kebiasaan baru untuk phubbing.
Dapat dikatakan bahwa phubbing adalah bentuk lain juga dari kecemasan atau insecurity secara psiko sosial. Mulai dari FOMO atau fear of missing out alias takut ketinggalan informasi, keterikatan kepada benda, hingga soal eksistensial. Merasa sepi di tengah keramaian. Butuh keasyikan tersendiri sebagai pusat perhatian. Tipikal generasi sekarang? Entah. Makanya dikit-dikit melirik medsos, dikit-dikit intip status orang, dikit-dikit ngelihat seberapa banyak likes and comments yang diberikan orang lain kalo bikin status, atau dikit-dikit jadi baper gegara punya prasangka terhadap orang lain. Nggak heran juga kalo jaman gini orang lebih milih untuk ketinggalan dompet di rumah ketimbang nggak bawa hape. Iya kan? Ngaku aja.
Masalahnya di mana? Pertama, ada persoalan etika -bukan lagi sekedar etiket- terhadap fenomena phubbing yakni atensi dan apresiasi yang seharusnya dilakukan kepada orang lain yang pada saat bersamaan berinteraksi dengannya. Iya sih ngomong, iya sih ngobrol, tapi mata nggak tertuju kepada yang bersangkutan. Malah kadang saking fokusnya sama ponsel jadi nggak nyambung. Padahal konteksnya bisa jadi urusan yang bersifat kolektif sosial atau bahkan strategis dan membutuhkan fokus. Kedua, mereka yang tidak nyaman dengan interaksi yang dilakukan bisa saja orang yang butuh dalam perhatian sesuai konteks, seperti teman, pasangan, anak, atasan, bawahan, rekan kerja, bahkan kien. Bisa sendiri, bisa beramai-ramai. Riset juga memperlihatkan bahwa mereka juga dapat terkena bias negatif seperti stress, gangguan mental dan perilaku. Wajar saja, sebab sesuatu yang bermula dari kecemasan tentu dapat menular kepada orang lain kan?
“As long as we keep the elephant in the room and we persist ignoring it, we won’t be capable of unlearning people from ‘phubbing’ their way through life. ("Even if the world goes down, my mobile will save me")”~ Erik Pevernagie
Maka harus diakui pula bahwa melepas ketergantungan terhadap ponsel itu juga penting. Belajar untuk tidak menyentuhnya dalam waktu-waktu tertentu. Ini memang agak konyol, sebab ketika anak kecil dilatih untuk tidak main hape eh orang tua malah keranjingan. Lebih konyol lagi mereka pula yang main gampang memberi solusi kepada anak sejak dini dikasih gawai. Biar nggak ganggu, katanya. Dasar pemalas. Tapi ini pula benih phubbing yang disemai sejak awal. Berakrab ikrib dengan teknologi digital memang adalah sebuah keharusan. Tapi menggunakannya secara berlebihan sehingga merusak relasi dengan orang lain, tidak memberi prioritas kepada hal yang butuh atensi penuh atau apresiasi, tidak pula mengacuhkan kehadiran orang lain, bahkan komunikasi verbal menjadi terganggu itu mah kelewatan. Kerusakan relasi sosial jelas menimbulkan isu berupa ketidakpercayaan, stigma, bahkan juga kesehatan. Emangnya mau begitu? Meski menyingkirkan ponsel sewaktu-waktu juga sama sulitnya macem tidur nggak pake guling buat sebagian orang, ada baiknya perlu dicoba. Pasti bisa dong ya, kan udah dewasa.