Manusia suka penasaran dengan ragam fenomena yang dianggap sulit dijangkau oleh nalar. Semisal apakah ada alien? Apakah ada dunia atau dimensi lain? Apakah ada hantu dan sebangsanya? Sesuatu yang tidak pernah dilihat dalam keseharian tapi mengundang rasa ingin tahu. Oleh karena sains dianggap tidak bisa memuaskan, religi juga cuma ngasih penjelasan gitu-gitu doang, hidup semakin kering maka muncul gagasan di abad ke-20 lalu sebagai gerakan New Age yang mendorong orang untuk mencari jawaban-jawaban atas pertanyaan semacam itu melalui cara spiritual.
Akan tetapi spiritualitas yang dimaksud di sini bukanlah upaya menggali melalui metode tradisional atau konvensional yang sudah pernah ada. Spiritualitas dalam konteks ini adalah menggabungkan antara sains, religi dan beragam bumbu lain yang dianggap sesuai dengan perkembangan jaman. Jadi jangan bayangkan upaya pencarian yang dilakukan oleh manusia New Age adalah cara tradisional pake menyan, komat kamit rapal mantra dan sejenisnya. Upaya itu dilakukan antara lain dengan menggunakan yoga, musik, meditasi massal, ganja, kepercayaan baru, penggunaan pseudo-sains alias pura-pura ilmiah, perpaduan antara hidup modern dengan spiritualitas kuno, dan kemudian antara lain melahirkan konsep yang disebut 'anak indigo'.
Istilah anak indigo lahir pada jaman New Age mencapai puncaknya yakni tahun 1970an sebagai sebuah terminologi pseudo-sains, sebab tidak ada dasar ilmiah yang cukup pasti dan kuat untuk memberi deskripsi terhadapnya. Apalagi istilah itu juga kerap dikaitkan dengan ranah parapsikologi yang membahas fenomena seperti indra keenam, kehdupan sesudah mati, psikokinesis atau kekuatan pikiran untuk memindahkan obyek material tertentu. Ranah parapsikologi juga dianggap sebagai pseudosains, karena memang tidak ada indikator ilmiah yang pasti dan dapat digunakan untuk membahasnya.
Kritik terhadap istilah anak indigo sendiri jika merujuk kepada bahasan ilmiah adalah adanya upaya manipulasi yang dilakukan oleh orang tua untuk menutupi kondisi anak yang sebenarnya mengalami learning disorder sebagai alternatif diagnosa. Misalnya orang tua melihat anaknya mengalami dyslexia atau sulit mengeja dengan baik dan si anak secara psikis juga menjadi frustrasi, maka kemudian dengan mudah mengatakan bahwa anaknya sensitif atau peka. Kepekaan yang timbul kemudian dikaitkan dengan hal-hal di luar ilmiah seperti bisa melihat ini itu yang tak tampak. Di satu sisi ini upaya secara tidak langsung utuk membesarkan hati si anak, tetapi juga membuatnya lebih percaya diri bahwa dirinya gifted atau berbakat, sesuatu yang tidak dimiliki orang lain.
Maka tidak mengherankan jika hal tersebut juga dikaitkan dengan kriteria yang digunakan untuk menyebut anak indigo dengan Barnum-Forer Effect, yakni fenomena psikologis ketika seseorang menganggap ada deksripsi akurat tentang diri yang seolah-olah dibuat khusus untuk mereka. Padahal deskripsi itu sebenarnya berlaku umum untuk banyak orang. Efek ini juga menjelaskan kenapa orang percaya dengan praktek pseudosains lain seperti astrologi, ramalan nasib, pembacaan aura, perhitungan sifat karakter, bahkan juga beberapa tes kepribadian populer yang digunakan secara acak sembarangan tanpa memperhitungkan kaidah pengujian ilmiah yang berlaku.
Jadi tidaklah aneh juga jika sampai abad ke-21 sekarang orang masih terpukau dengan praktek semacam itu, termehek-mehek untuk memberi label dan pembenaran terhadap dirinya. Baru baca sedikit, coba tes di media sosial, kontan melabeli diri dengan sebutan introvert. Konyolnya, kemudian menuntut agar semua situasi yang terhubung dengan dirinya harus dapat memberikan ruang dan permakluman terhadap identitas palsu yang diciptakan. "Akyuh kan introvert, jadi wajar dong galau ketemu banyak orang" atau "Akyuh kan Akuariyeus, nggak cocok deh dipaksa ngerjain tugas kayak gini". Taik kucing memang kan? Lu kalo dasarnya pemalas ya pemalas ajalah. Apalagi jika berkaitan dengan istilah anak indigo. Kita nggak pernah bisa tahu, apakah anak tersebut benar-benar bisa mengalami fenomena seperti melihat sesuatu yang tidak kasatmata, ataukah hanya sosok generasi digital yang sensitit manja delusional. Sebab tidak ada ukuran yang bisa digunakan secara ilmiah kecuali masuk dalam ranah pikologis atau kejiwaan. Itu sama seperti situ berbicara kepada Tuhan adalah doa, tapi kalo sudah mengklaim Tuhan berbicara kepada ente ya bisa jadi gejala skizofrenia.
Itu juga menjelaskan mengapa masyarakat Endonesah pada umumnya hingga saat ini masih belum mampu memilah dengan baik ragam fenomena dalam banyak kasus atau kejadian seperti kesurupan atau ketempelan, 'bisikan gaib' bahkan untuk membunuh orang, atau kemampuan untuk melihat yang tak terlihat. Di beberapa daerah Nusantara seperti di Bali, orang terbiasa dengan kesurupan atau kerauhan karena ada hampir di dalam setiap praktek ritual. Berdasarkan pengamatan, orang yang benar-benar in trance tidak akan mampu mengontrol dirinya, juga memiliki ciri fisik seperti air liur dan atau air mata yang keluar terus menerus. Kesadaran pikir bisa jadi ada atau tidak, tergantung subyek yang bersangkutan. Selain itu jika dikaitkan dengan konteks ruang dan waktu, maka amatlah jarang seseorang kerauhan dalam kerangka sekedar pertunjukan hiburan. Sebab di belahan Nusantara lain di mana tidak ada praktek ritual semacam itu, ada juga orang kesurupan emang dibuat-buat. Entah karena perdukunan atau pertunjukan. Biar rame kayaknya. Model begitu sih tinggal seret kunciin di toilet atau disiram air juga selesai. Sedangkan 'bisikan gaib' yang berlangsung secara intensif sudah bisa dipastikan adalah gejala kejiwaan. Sama halnya dengan bisa melihat hantu yang merupakan proyeksi mental terhadap energi alam. Hasilnya bisa berbeda buat setiap orang. Ada yang bilang lihat kuntilanak, ada yang bilang kambing dibedakin, ada yang nggak lihat apa-apa.
Oleh karenanya, upaya generalisasi untuk memasukkan ragam fenomena tersebut dalam satu ruang yang secara intensif diberi pembenaran ilmiah, adalah hal yang sesungguhnya sudah jauh dari sikap ilmiah itu sendiri. Padahal idealnya orang harus bisa bersikap proporsional dan bijak untuk bisa melihatnya secara kasuistis satu per satu. Melelahkan? Sudah pasti. Sebab jika pukul rata dan main gampang, maka indikator yang digunakan menjadi semakin bias. Singkatnya spiritualitas tidak bisa dibungkus hanya dalam bentuk parapsikologi, paranormal, indra keenam, penglihatan dan sejenisnya dalam terminologi pseudo-sains. Fenomena metafisika atau di luar hal-hal fisik material itu ada, tapi biarkanlah apa adanya. Sebab upaya menjadikannya bentuk ilmiah yang harus dapat diukur dan dikuantifikasi adalah omong kosong.
Terlebih apa yang terjadi pada era New Age di abad lalu, sampai sekarang ternyata masih berlangsung hingga sekarang. Orang masih menggunakan pola yang sama dengan tujuan-tujuan yan sebenarnya berbau duit. Ini konyol memang. Sebab seseorang yang mengklaim spiritualis idealnya sudah melampaui awan dan tidak menjejak ke bumi. Persoalan perut dan di bawah perut sudah tuntas terlebih dahulu sebelum menggapai langit. Akan tetapi menunggangi spiritualitas dengan bumbu mistik serta klenik ditambah perangkat modern memang tambah mengasyikkan. Tinggal follow the money buat tau motif yang sebenarnya. Apalagi dengan penggunaan media sosial maka beragam kampanye dan kepentingan yang mengatasnamakan spiritualitas menjadi semakin tidak berdasar, namun tetap dibutuhkan oleh jiwa-jiwa yang merasa kering dahaga tak terpuaskan oleh sekedar penjelasan ilmiah dan atau agama. Padahal urusan spiritualitas tak semudah itu, Fernan eh Ferguso.. Butuh kejelian untuk benar-benar bisa menemukannya. Benar-benar sebuah fenomena kah? atau cuma gimmick buat mencapai popularitas tertentu supaya laris manis tanjung kimpul, demit habis duit ngumpul?
“You know how sometimes you tell yourself that you have a choice, but really you don't have a choice? Just because there are alternatives doesn't mean they apply to you.” ~Rick Yancey, The 5th Wave
Maka bermunculan kembali istilah anak indigo yang kemudian secara komersial digunakan untuk memberi pembenaran terhadap fenomena untuk memuaskan rasa dahaga tersebut. Seperti ngomongin film kayak KKN di Desa Penari itu, bahkan ada berita di media bahwa ada satu dua anak indigo mengklaim sudah bicara dengan demit Badarawuhi. Emangnya model wawancara gitu? Tanya jawab in depth interview jarak jauh pake telepati? Tapi ya itu tujuannya; semakin delusional, semakin viral, semakin menguntungkan buat market dan bakal ada potensi cuan untuk bisa digali. Menggiring rasa ingin tau publik itu sama dengan menyodorkan seonggok rumput dengan batang pancing di depan wajah kuda yang sedang berlari. Semakin kencang, semakin heboh, semakin penasaran buat nonton.
Jadi sebelum melihat apakah ente benar-benar tertarik terhadap ragam fenomena itu, cobalah untuk bisa menyeleksi dan memahami dengan baik. Skeptis duluan malah bagus, biar nggak gampang terpesona. Apalagi jika mengira benar-benar punya talenta seperti indra keenam, atau bisa ngobrol cantik sama genderuwo. Mungkin situ benar-benar gifted, mungkin juga agak-agak miring. Mungkin ente emang anak indigo meski penjelasan ilmiahnya kacrut. Mungkin juga sampeyan malah ternyata anak indihom, yang dikit-dikit harus restart modem eh pikiran kalo ada masalah.