Manusia itu paling suka menganggap dirinya unik. Kalo bisa satu-satunya. Sebab dengan menjadi unik, ada perasaan spesial yang menghinggap. Gimana tidak, kalo keunikan dimiliki menjadi pembeda dengan yang lain. Padahal jika semua orang merasa unik, lantas apa bedanya satu dengan lainnya? Toh jadinya sama saja.
Keunikan yang sering dianggap jadi kelebihan itu bisa seperti kemampuan fisik, bisa pula yang tak terlihat seperti karakter atau bakat. Dengan merasa spesial, maka seseorang bisa menganggap dirinya lebih bermutu dari orang lain. Ini sebenarnya false attitudes, sebab menjadi unik hanyalah sampai pada perbedaan, bukan pembedaan. Dengan berbeda, semua memang punya kemampuan, bakat dan karakter masing-masing. Tapi cukuplah berhenti sampai disitu. Artinya perasaan spesial hanya menjadi sekedar identitas, bukan kemudian menempatkan seseorang 'lebih baik' daripada yang lain. Dengan merasa 'lebih baik' itulah kemudian orang secara sadar atau tidak sadar menuntut perlakuan khusus. padahal perlakuan khusus diberikan kepada mereka yang memang tidak memiliki akses tertentu sepertu disabilitas, usia atau gender dalam konteks tertentu. Perlakuan khusus karena merasa lebih baik, justru melahirkan diskriminasi yang tidak perlu dan bahkan merusak dinamika dan relasi sosial yang ada.
Bagi yang merasa lebih baik hingga harus ada perlakuan khusus, umumya kemudian mencari legitimasi atau pembenaran. Lihat saja sekarang di internet atau media sosial bertaburan segala macam tes kepribadian, tes karakter, dan tes psikologi lainnya yang kemudian digunakan tidak pada tempatnya. Awalnya, orang berusaha memberi definisi diri tapi ingin tampil secara berbeda dan mulai melakukan pembedaan dengan yang lain. Padahal tes-tes semacam itu hanyalah teaser yang cuma sampai di permukaan. Jika mau serius, ya tentu saja harus ke psikolog atau psikiater sekalian. Itu tujuannya adalah untuk melihat apa yang terjadi dan bergejolak di dalam diri, bukan semata memberi label biar dianggap beda.
"Always remember that you are absolutely unique. Just like everyone else" ~Margaret Mead, an anthropologist
Contoh yang paling sederhana adalah istilah introvert yang seringkali kini digunakan oleh banyak orang untuk memberi deskripsi tentang dirinya. Menganggap diri adalah persona yang pemalu, sulit didekati dan tidak mudah bergaul. Padahal tidak sesederhana itu. Bisa saja sebenarnya cuma orang yang menyebalkan, enggan bergaul, baperan dan tidak menyenangkan secara sosial. Istilah introvert yang mungkin didapat dari sekali dua kali ikut kuis online, kemudian dipakai bukan saja sebagai label tapi juga branding personal. Kalo ngehe ya ngehe aja, nggak usah bilang situ introvert atau extrovert kan? Itu sama seperti orang mengatakan "guwe kan Aries, jadi wajar agak sensian". Perkara astrologi adalah semata hiburan yang digunakan media supaya orang mau melirik dan kemudian berandai-andai nggak penting. Mau Aries kek, Scorpio kek Libra kek, kalo emang sentitit ya sentitit aja. Kalo emang pada dasarnya ngehek, ya ngehek aja.
Tapi itulah manusia. gemar memberi definisi kepada dirinya dan kemudian merujuk segala perilaku agar sesuai dengan apa yang menjadi label tersebut. Padahal yang harus dilakukan justru adalah mengembangkan kepribadian untuk menjadi lebih baik dan punya empati terhadap orang lain. Itu yang paling sulit ketimbang mengatakan bahwa dirinya adalah karakter paling unik dan paling langka di engah umat manusia. Apa faedahnya? Nggak ada. Paling hanya sekedar mempertebal rasa percaya diri untuk menutupi sifat minderan. Itu sudah lumrah. Orang yang paling banyak berjanji dan membual, adalah mereka yang selalu tidak pernah bisa menepati. Demikian juga yang merasa diri paling spesial, adalah haus pengakuan terhadap persona yang tidak pernah diberikan oleh orang lain termasuk keluarga bahkan sendiri. Spesial nggak akan dicari orang, kecuali martabak pake telor.
Jadi kalo situ berasa unik, istimewah atau spesial, lantas buat apa? Gajinya juga sama #eh