"Ah, sombong amat sih lu" atau "Belagu bener sih sekarang, kemana aja" itu adalah ekspresi unik orang Endonesah terhadap temen, kawan, saudara atau yang dikenalnya jika yang dituju itu -jujur aja- lebih kelihatan maju, ada perubahan, lebih keren, lebih segala macem, ketimbang dirinya. Sebenarnya seperti pengakuan tidak langsung. Tapi dasar masyarakat tertutup yang sulit berekspresi, maka kata sombong itulah yang digunakan. Insight-nya jelas, "Kok lu nggak menyapa gue" atau "Kenapa lu diem aja". Jadi ngarep pengen dilibatkan juga di dalam interaksi sosial yang memang semakin menyisihkan di antara ruang dan waktu terbatas itu.
Jadi kata sombong dalam konteks itu merupakan indikasi atau ukuran orang berkaitan dengan atribut bahkan pencapaian personal. Tentunya dengan satu syarat, bahwa sombongnya punya isi. Ukuran bahwa ada pencapaian yang didapat memiliki refleksi berupa opini orang yang tidak dapat dikontrol. Selama tidak merugikan orang lain, terus bergerak terus berbuat ya jangan pusing mikirin itu. Bodo amatlah. Akan tetapi beda kalo sombongnya kosong. Udah nggak bisa apa-apa, tengil, emang beneran belagu, merasa bisa, tapi semuanya nol. Itu baru the real sombong people. Sebab sombong yang begini adalah tanda ketidakamanan diri. Takut disepelekan padahal emang receh. Nah, jangan terkecoh dengan tidak bisa membedakan kedua macem sombong itu.
Maka perlukah sombong? Setiap orang punya jalan masing-masing. lainnya cuma bisa menatap, entah kasihan atau iri. Biarkan saja. Lebih baik bersapa terbuka "Hei, apakabar? baik-baik saja kan?" daripada minta perhatian kemudian ngecap sombong. Emangnya situ siapa? Jangan-jangan more sombonger dan the real sombong dibandingkan temenlu.