Seiring dengan jalannya waktu, usia angkatan kerja semakin banyak didominasi oleh yang muda-muda. Mulai dari milenial tua yang kini puyeng mikir soal karir, menjilat dikit di LinkedIn biar dilirik orang, bingung soal cicilan rumah, sementara anak udah nambah. Ada juga milenial muda yang masuk kategori gen Z yang bayak di antaranya masih kuliah dan perlahan mulai ikutan lamar kerjsa sana sini sambil mencet p buat chat di gawai masing-masing. Mereka ini yang kemudian mulai gelisah, resah dan gundah di usia menjelang 25an. Maka ada istilah quarter life crisis yang dulu nggak pernah dikenal oleh angkatan tua. Malah yang tua sekarang atau gen X rerata baru memasuki mid life crisis; masih harus cari duit banting tulang buat ngebiayain anak-anaknya yang notabene Z itu.
Hal yang menarik adalah beberapa perusahaan konvensional memberi label tentang generasi stroberi terhadap mereka yang masih unyu-unyu. Disebut stroberi sebab dari luar kelihatan manis segar lucu, tapi begitu dipencet langsung mejret. Itu deskripsi tentang mereka yang dari luar mementingkan penampilan, keren, bisa ini itu, sudah ada pencapaian, beberapa menyandang gelas CEO, pendiri dan nganu ngono lain. Tapi begitu menghadapi konflik entah personal atau profesional, semua digulung jadi peronal. Gampang baper, manja, males, nggak punya daya lenting yang baik, dikit-dikit stress, halu dan butuh ketenangan jiwa. Padahal dunia masih nggak berubah; tetap sadis kerjam nggak pandang bulu untuk berbagai urusan.
Apa yang terjadi adalah tentang fenomena kebaperan yang hakiki. Ditegur sedikit oleh atasan, berasa dimarahi habis-habisan. Lah, gimana kalo beneran dimaki? Maka solusi yang dipilih kerap jalan pintas untuk menyelesaikan masalah atau menghindari konflik seperti resign atau dikit-dikit cuti. Demikian pula dengan pola kerja; hanya bersedia meluangkan waktu sejalan dengan kontraktual yang berlaku. Tidak ada pencapaian dalam bentuk target yang maksimal. Kalo kerja dari jam sembilan sampe jam lima, ya segitu aja. Lewat malam hingga besoknya serta akhir pekan jangan harap bisa dihubungi. Pemisahan antara dunia profesi dan dunia pribadi benar-benar dibatasi sehingga kerja tidak lain hanya sekedar pemenuhan kewajiban. Nggak ada pikiran bahwa ada yang bisa lebih dilakukan untuk diri sendiri dalam konteks itu. Mikirin perusahaan apalagi.
Akan tetapi di permukaan sudah pasti gayanya benar-benar sibuk. Nggak bisa diganggu. Seolah tidak ada yang bisa dinikmati dalam keseharian selain cuma istirahat ngopi atau malem healing makan-makan dan akhir pekan staycation. Lucunya, beban hidup yang dirasa berat itu disebut gegara generasi yang lebih tua yang kerap disebut boomers. Padahal babyboomers itu adalah kakek buyut mereka yang sudah nggak ada urusan dengan kelakuan para cicitnya. Orang tua yang suka dicap gaptek, nggak pengertian, serta mengada-ngada itu justru adalah generasi X yang notabene jadi angkatan orang tua mereka. Beneran gaptek? nggak juga.
Munculnya generasi stroberi juga bukan salah si Z kok. Mereka bisa rentan secara mental dan pikiran itu ya gegara orang tua mereka. Seolah tampil punya banyak kelebihan dan serba bisa, tapi nggak taunya masih dependen. Susah ambil keputusan sendiri dan selalu membandingkan. Di satu sisi belum lagi penilaian diri yang terlalu tinggi dan ogah dibayang-bayangi orang tua, tapi di sisi lain tak ada sesuatu yang istimewa. Salah orang tua? Iya pasti. generasi X yang dulu rerata ngegembel hidup susah dibawah tekanan ekonosmi sosial dan politik Orde Baru, kini banyak yang sudah mapan. Saking mapannya menjadikan pengalaman mereka tidak ingin diulang kepada anak cucu. Dulu ngompreng naek angkot, sekarang anaknya diantar jemput. Nggak heran kalo sekolah jaman sekarang bermasalah dengan lahan parkir. Dulu biasa dimarahi guru hingga atasan. Sekarang mulai dari tugas, daftar kuliah, cari kosan, sampe cari kerja siap sedia buat anaknya. Pokoknya si anak nggak boleh susah. Iya kalo orangtua masih hidup dan mampu. Kalo dah lewat, gimana si anak bisa bertahan?
“Hard times create strong men. Strong men create good times. Good times create weak men. And, weak men create hard times.” ~G. Michael Hopf, Those Who Remain
Jadi kelemahan sebuah generasi tidak dapat ditimpa kepada generasi yang bersangkutan. Baik yang lebih tua atau muda turut bertanggung jawab. Generasi stoberi nggak muncul mendadak begitu aja, tapi atas dasar kecerobohan dan tanggung jawab setiap lapis usia. Pembelajaran dan pola yang serba kompromi dan melindungi secara berlebihan jelas tidak bagus pada perkembangan mental siapapun juga. Masa' iya cuma bagus dijadiin juice doang?