Kadang batasan usia dalam menentukan kedewasaan itu suka sumir. Ada yang bilang 17, 18 atau 21 tahun tergantung dengan situasi yang dihadapi. Kategori yang lebih lebar adalah dengan menentukan generasi. Semisal kini generasi Alpha yang baru beranjak dewasa, generasi Z yang sibuk dengan urusan sekolah dan kuliah yang butuh ekstra sosialisasi gegara kelamaan rebahan, generasi Y atau Milenial yang puyeng dengan urusan karir, keluarga kecil, proyeksi ke depan, generasi X yang sudah paruh baya dan idealnya sudah ongkang-ongkang kaki.
Akan tetapi dari berbagai riset yang pernah dilakukan, kategorisasi dan operasionalnya ternyata tidak semudah itu. Gegara pandemi yang sudah berlangsung dua tahun lebih, semua ekspektasi memang meleset. Semisal generasi X masih harus pula berkutat dengan kerja kontrak, mau pegang duit banyak, karir berharap bisa selesai mulus dengan pengsiun, harus pula menghadapi himpitan dan antrian generasi yang lebih muda, lebih produktif, lebih kagak ngantukan, lebih profesional, lebih canggih ilmunya, dan yang jelas lebih punya dukungan dari orang tua. Lama-kelamaan generasi X hanya bisa menang pengalaman. Itu pun juga basi ketinggalan jaman. Belum lagi faktor personal di mana tidak seluruhnya profesional. Ada juga yang sudah setua itu masih amatiran, kerja cuma proyekan, nadah tangan, ngarepin temen, berasa serba tau, serba pinter dan serba bisa, berkumpul hanya untuk sekedar saling curhat dan umpat, tapi nggak juga kemana-mana.
Fokus kini berada di tangan generasi Milenial, yang gegara pandemi juga mangkel karena lapaknya masih diisi oleh generasi yang lebih tua. Sementara yang muda sudah mulai sibuk mengepak sayap mencari peluang dengan aktivitas dan cara kerja yang tidak lagi konvensional. Generasi Y yang umumnya sudah menjadi keluarga muda meski sudah tidak muda lagi, tetap harus menjadikan karir sebagai batu loncatan selagi masih ada umur. Usia produktif masih berkisar 25 hingga 35 tahun, beda dengan X yang paling banter nggak sampai satu dekade lagi. Demikian pula dengan Z dan Alpha, di mana pendidikan menjadi prasyarat formal sekaligus juga menambah keahlian yang belum tentu dimiliki oleh generasi sebelumnya. Pintu gerbang metaverse mulai terbuka luas. Dengan demikian ada peluang yang kelak akan lebih bisa mereka isi ketimbang kakak atau orang tua mereka. Apalagi menurut Marc Prensky (2001) mereka adalah digital native; lahir pun sudah pegang gadget. Jadi urusan teknologi nggak bakalan gagap seperti para orang tua.
Lantas yang tua mau dikemanain? Mau tidak mau dengan waktu yang semakin sempit, harus pula mampu upgrading sekaligus menambah dan mengejar ketinggalan. Jika tidak, maka tongkat estafet harus diserahkan. Sudah cukup berpayah dan harus gantian. Kecuali kalo masih mau maju, ya bersiap diri. Pandemi cuma salah satu faktor yang berulangkali jadi kambing hitam, padahal kambingnya ya diri sendiri. Jangan pula menyalahkan orang lain yang sudah sadar duluan masuk ke dalam dunia serba kompetitif dan beralih kolaboratif. Jika masih meratapi nasib, maka puluhan tahun yang sudah lewat menjadi sia-sia dengan menjadi baperan. Sudah tua, masih berasa abege. Bocah maen lumpur, muda begajulan, eh tua maen lumpur lagi. Persis seperti lirik lagu Queen, We Will Rock You kan?
Buddy, you're a boy, make a big noise | Playing in the street, gonna be a big man someday | You got mud on your face, you big disgrace | Kicking your can all over the place, singin' We will, we will rock you | We will, we will rock you
Buddy, you're a young man, hard man | Shouting in the street, gonna take on the world someday | You got blood on your face, you big disgrace | Waving your banner all over the place | We will, we will rock you, sing it! We will, we will rock you, yeah
Buddy, you're an old man, poor man | Pleading with your eyes, gonna get you some peace someday | You got mud on your face, big disgrace | Somebody better put you back into your place, do it!
Maka selagi muda tetaplah berusaha untuk menjadi lebih baik dari generasi sebelumnya. Buat yang sudah tua? Pertahankan impianmu, tarik selimut sebab di luar masih hujan.