Menjelang Hari Raya Kemerdekaan tanggal 17 Agustus, biasanya hampir semua pihak sibuk merumuskan makna dari kemerdekaan itu sendiri. Mulai dari negara hingga lingkup erta sibuk bikin atau menyamakan slogan. Individu membuat renungan. Entah dari cuma berbahan spanduk hingga tulisan status, kemerdekaan menjadi isu sendiri yang menarik pada setiap pertengahan tahun. Apakah kita benar sudah merdeka? Biasanya sih selalu dari pertanyaan semacam itu. Kalo dilihat dari soal waktu, sudah jelas kemerdekaan fisik lepas dari penjajahan itu bermula dari tahun 1949. Lho bukannya 1945? Justru itu adalah proklamasi. Perangnya sendiri masih berlangsung hingga 1949 saat pengakuan kedaulatan.
Lantas kapan kita mulai dijajah? Sudah jelas adalah saat Belanda mengambil alih VOC yang bangkrut tahun 1801. Dengan pengambil alihan itu, maka urusannya adalah urusan negara dan bukan lagi serikat dagang. Negara Belanda menghadapi, katakanlah kerajaan, kesultanan dan kekuasaan lokal lain di Nusantara. Ada perang, ada koalisi, ada perdamaian, negosiasi dan politik yang dijalankan Belanda untuk menundukkan mereka satu per satu. Salah satunya ya dengan pecah belah, membagi dan menguasai alias divide et impera. Dengan demikian, maka patahlah mitos bahwa kita dijajah selama 350 tahun. Itu sama dengan mengatakan bahwa kita masuk ke dalam era kolonialisme sejak kedatangan Cornelis De Houtman tahun 1596 ke Banten. Yaelah, baru dateng lihat-lihat doang udah dibilang imperialis. Lebay banget.
Selain itu, dapat juga disimpulkan bahwa selama penjajahan baik Belanda, Portugis, Inggris dan Jepang tidak selamanya Nusantara dan kemudian Indonesia bersatu padu melawan mereka. Namanya juga pertarungan kekuasaan, maka dikatakan tidaklah perang melulu. Ada koalisi, perdamaian dan negosiasi. Ada bujuk membujuk, merayu dan menekan. Selain itu setiap pihak punya kepentingan sendiri-sendiri. Ada yang mengatasnamakan pribadi, kelompok, agama, kepentingan dagang bahkan hak waris untuk memerintah. Kesadaran untuk bersatu baru dirintis setelah Sumpah Pemuda 1928. Itu pun masih tetap mengusung kedaerahan masing-masing. Kemudian apakah ketika sudah Proklamasi Kemerdekaan, sekonyong-konyong semua orang sadar akan persatuan? Nggak juga. Masih banyak perjuangan yang berlandaskan primordialisme sektarian alias kesukuan dan agama.
Politik Identitas itulah yang kemudian masih tetap dimainkan hingga saat ini. Rejim Orde Lama, getol dengan nasionalisme dan memang kekiri-kirian. Rejim Orde Baru mulai dengan kapitalisme nasional yang kemudian pada tahun 1990an mulai bergeser ke kanan. Era Reformasi hingga saat ini, kemerdekaan juga amsih sebatas jargon akan kebebasan yang sudah usang. Bebas dari kolonialisme itu bumbu abad ke-20. Justru di masa sekarang, penjajahan tidak lagi mengambil bentuk fisik seperti invasi bersenjata. Kalo pun ada perang, lebih sebagai upaya balance of power dan menjaga buffer states seperti kasus Rusia-Ukraina. Hal yang lebih mengkuatirkan adalah agresi di bidang lain seperti biokimia, ekonomi, teknologi dan sejenis yang menghasilkan ketergantungan sebuah negara kepada pihak lain. Banyak negara yang sudah hancur seperti Srilanka, Magadaskar dan beberapa negara Afrika gegara hutang. Itulah wujud dari kolonialisme baru.
“War is peace. Freedom is slavery. Ignorance is strength.” ~George Orwell, 1984
Penjajahan seperti itu nggak berlangsung hanya dalam konteks antar negara lho. Justru sebagai individu, orang juga punya banyak ketergantungan kepada sistem, kepada nilai, kepada budaya, kepada kebiasaan yang awalnya dianggap asing, aneh, tetapi lama-lama memikat dan membuat orang labil dan galau terpikat. Nggak usah jauh-jauh ngomongin negara, omong soal kebiasaan sendiri aja yang menggantungkan diri kepada cara berbicara, cara berpakaian, cara berpikir yang bersifat superfisial alias di permukaan. Banyak yang bilang yuk kita cintai budaya lokal hingga nasional, tapi make kebaya atau kain aja nggak pernah. yuk kita dorong kesenian lokal, tapi nonton dan ngerti ceritanya aja nggak paham. banyak yang demen ngomong kebebasan, tapi sehari-hari ujungnya tetap plonga plongo rebahan. banyak yang bilang independensi berkarya, tapi bikin proposal yang bener aja nggak bisa. Banyak yang pengen punya financial freedom, tapi masih aja paylater atau minjem, minta, bagik. Banyak yang maunya bisa memilih, tapi buntutnya ditentukan oleh orang lain. Ah, ngemeng aja.
Jadi manusia macam apa yang kemudian demen bicara soal kemerdekaan tapi malah sebenarnya kosong nggak tau apa-apa? Coba deh pikirkan. Atau jangan-jangan pikiran juga masih terbelenggu hingga nggak sanggup membayangkannya. Apakah itu tanda bahwa kita beneran belum merdeka? Ah, teriak merdeka dululah pokoknya.