Ada idiom yang menyatakan bahwa orang yang tidak bahagia akan cenderung membuat orang lain juga jadi tidak bahagia. Pendapat seperti itu memang ada benarnya. Sebab bukan saja kebahagiaan, rasa tidak bahagia juga sama bisa untuk menular bahkan secara aktif. Orang yang bahagia mampu membuat siapapun yang melihat akan tersenyum tanpa diminta. Mereka yang selalu tidak bahagia gegara melihat orang lain, akan berupaya menarik siapapun yang berdekatan untuk merasakan ketidak bahagiaan tersebut.
Dengan demikian ketidakbahagiaan bukan sesuatu yang datang sebagai konsekuensi kejadian dari luar diri. Ketidakbahagiaan adalah perasaan yang muncul sebagai reaksi tidak suka, cemburu, iri, kecewa yang menjadi motif atau pendorong bagi seseorang. Tidak bahagia adalah hasil olah perasaan tersebut yang kemudian membuatnya harus memancarkan vibrasi agar siapapun dapat merasakan hal yang sama. Dengan sama-sama tidak bahagia, maka ada rasa puas untuk mengubah lingkungan atau orang lain menjadi punya opini yang sama. Dengan opini yang sama, maka diharapkan siapapun akan mampu mengubah sasaran yang dituju agar ada kepuasan rasa. Nggak bisa lihat orang lain senang, jadi mari susah bareng.
Lantas mengapa ada orang yang berpikir seperti itu? Mengapa tidak bahagia menjadi sebuah reaksi untuk kepuasan? Pertama, bisa jadi adalah soal pembentukan karakter yang merasa bahwa setiap orang lain adalah sebuah bentuk kompetisi atau persaingan. Jika orang lain merasa bahagia, maka ditafsirkan sebagai sebuah bentuk kemenangan dimana diri ini mengalami kekalahan. Oleh karena kalah, maka situasi diubah tetap dalam konteks menang dan kalah, bukan sama-sama menang. Situasi harus bisa dibalik agar kemenangan bisa didapat berupa rasa puas dan orang lain tetap harus kalah yakni yang bahagia menjadi tidak bahagia.
Kedua, oleh karena bahagia ditafsirkan sebagai bentuk kesuksesan, kemenangan yang pada saat itu dimiliki oleh orang lain, maka situasi tersebut mendorong reaksi berupa bentuk negatif yang harus dibalik tanpa mempertimbangkan diri sendiri. Rasa puas harus bisa didapat. Apakah diri sendiri memang sanggup untuk bahagia? Itu nggak penting. Terpenting adalah bagaimana membuat orang lain menjadi kalah, malu, mundur atau merasa tidak pantas untuk bahagia. Maka susah lihat orang senang, senang lihat orang susah.
Jadi intinya adalah soal kepantasan diri atau self-entitlement. Ini sebenarnya sesuatu yang bagus ketika digunakan untuk memotivasi diri. Ada orang-orang yang mengejar kebahagian meski dalam ukuran sempit seperti sukses, kaya, bisa apa saja, dan sebagainya. Perasaan pantas untuk bisa memperleh sesuatu semacam itu kemudian dikaitkan dengan situasi orang lain sebagai sebuah perbandingan. pada titik ini, apresiasi diri sudah berubah menjadi material dan melihat orang lain. Keliru? Sudah pasti. Ukuran kebahagiaan nggak bisa ditentukan dari materi apalagi orang lain. Ukuran semacam itulah yang kemudian mendorong orang menjadi selalu terbebani dengan rasa iri hingga dengki yang tanpa sadar merusak diri sendiri.
“Be happy for no reason, like a child. If you are happy for a reason, you’re in trouble, because that reason can be taken from you.”~Deepak Chopra
Membebaskan diri dari perasaan dan tindakan semacam itu adalah pe-er besar yang sulit dilakukan tanpa rasa yang menetralkan seperti pasrah, toleran, atau tindakan serupa yang dianggap sebagai kelemahan. Orang harus tampil kuat dan menang. Apa nggak capek? Sudah tentu begitu. Membebani diri adalah tindakan terbodoh manusia hanya gegara tidak suka dengan pencapaian orang lain, bukan lantaran karena diri sendiri sudah melakukan sesuatu. Maka pantes aja sulit bahagia kan?