Sistem kasta Hindu Bali itu punya ciri khas yang berbeda dengan dengan Hindu India. Istilah kasta berasal dari bahasa Iberia atau Spanyol Portugis, casta yang berarti golongan atau keturunan. Secara normatif argumen yang muncul mengacu kepada varna ~pertama muncul dalam Rigveda, dalam Sanskerta bermakna bentuk atau tampilan. Varna dipersepsi lebih luwes dan fungsional ketimbang kasta yang rigid dan struktural. Jadi hingga saat ini, klise yang muncul adalah tidak ada sistem kasta di Bali, melainkan varna sesuai dengan Manusmrti. Umumnya sistem kasta di Bali terdiri dari empat tingkatan yakni Brahmana, Ksatria, Weisya dan Sudra. Di India, keempatnya dikenal dengan savarna atau empat warna. Di luar itu seperti Dalit dan golongan lain disebut avarna atau tidak berwarna.
Di Bali, meski secara normatif juga mengacu kepada varna dan tidak ada avarna, penerapan kasta jauh lebih kompleks dan telah mengalami lokalitas yang kuat, di antaranya karena pengaruh sejarah kerajaan-kerajaan di Bali dan kolonialisme Belanda. Masa kolonial Belanda di Bali dimulai dengan beberapa ekspedisi militer dalam kurun pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20. Setelah perang Puputan baik di Badung dan Klungkung, Belanda mulai mereorganisasi sistem sosial Bali termasuk kasta untuk kepentingan administratif. Kapan? Ini dimulai dalam sebuah konferensi di Bali tanggal 15-17 September 1910. Hasilnya, Belanda menciptakan konsep Tri Wangsa atau tiga kasta teratas yakni Brahmana, Ksatria dan Waisya, ditempatkan di atas kasta Sudra. Perbandingan populasinya hingga sekarang Tri Wangsa berjumlah 10% dan Sudra 90%. Tujuannya adalah dengan sengaja untuk mempermudah kontrol sosial. Sistem kasta menjadi lebih kaku dan maknanya bergeser dari konsep varna.
Kemudian Belanda membentuk lembaga-lembaga adat di bawah kendali mereka. Pada tahun 1882 memang sudah ada Raad van Kerta atau pengadilan adat di Bali Utara. Ini diperluas ke daerah lain. Keputusan yang dibuat di Raad van Kerta berpengaruh selama tiga dekade berikutnya pada tatanan sosial Bali. hingga Indonesia merdeka. Melalui lembaga ini, pemerintah kolonial mengendalikan perubahan status sosial seseorang seperti perpindahan atau pengakuan kasta dengan dasar hukum adat yang sudah Belanda atur ulang. Ini dilanjut tahun 1920an dengan politik Baliseering, sebagai upaya melestarikan budaya Bali sebagai museum hidup pariwisata sekaligus mencegah pengaruh nasionalisme. Pelestarian ini tidak lain adalah kompensasi Belanda secara etis pasca perang Puputan. Belanda dikecam di dunia internasional atas peperangan dan korban yang tidak perlu. Akan tetapi kompensasi tidaklah memungkinkan dengan perkebunan seperti halnya di Jawa karena keterbatasan lahan dan akses jalan. Demikian juga dengan alternatif industri pengolahan karena pelabuhan juga terbatas. Pariwisata menjadi satu-satunya jalan.
Salah satu bentuk kongkretnya adalah Staatsblad atau Lembaran Negara No.226 per tanggal 1 Juli tahun 1929 untuk mengakomodasi elit lokal feodal. Melalui keputusan tersebut, Belanda menetapkan gelar kebangsawanan baru bagi raja-raja di Bali. Misal, raja Karangasem yang semua bergelar I Gusti diangkat menjadi Anak Agung. Raja Buleleng dan Jembrana juga sama. Raja Bangli dan Gianyar yang awalnya I Dewa menjadi Anak Agung. Raja Tabanan dan Badung semua I Gusti Agung mendapat gelar Cokorda, dan raja Klungkung I Dewa mendapat gelar Ida I Dewa Agung. Gelar-gelar itu bukan berdasarkan keturunan semata, melainkan sebagai jabatan bagi mereka yang berkuasa sebagai raja di bawah administrasi pemerintah kolonial. Dengan kata lain status mereka bukan lagi penguasa merdeka tetapi pegawai di bawah Belanda.
Baru terakhir menjelang Perang Dunia ke-2, pemerintah Hindia Belanda memperkuat struktur swapraja Bali dengan Keputusan Gubernur Jenderal No. 21 tahun 1938, Pulau Bali dibagi menjadi 8 kerajaan resmi (swapraja), dan masing-masing raja diakui sebagai Zelfbestuurder (penguasa otonom) dengan gelar kebangsawaan baru tadi. Upacara penobatan dilakukan di Besakih tahun 1938 sebagai legitimasi religius dan menyeragamkan status semua raja. Raja Dewa Agung dari Klungkung secara resmi juga setara dengan lainnya. Kebijakan tahun 1929 dan 1928 tidak lain adalah untuk menarik simpati para raja dan bangsawan Bali serta menjadikan mereka bagian dari struktur pemerintahan kolonial, sekaligus mempertahankan dan memperkuat sistem kasta demi kestabilan kekuasaan Belanda.
Bagi rakyat di luar elit lokal feodal, Belanda juga mengatus status kasta melalui mekanisme “ponis” ~berasal dari bahasa Belanda vonis, yang berarti putusan. Surat ponis merujuk pada surat keputusan pengadilan Raad van Kerta yang mengakui atau memberikan gelar kebangsawanan dan status keturunan seseorang. Maka pada dekade 1910-an, orang Bali marak memohon penetapan gelar kebangsawanan dengan cara tersebut. Fenomena itu sampai memunculkan olok-olok berupa istilah Gusti Pones ~sebagai gabungan kata gelar kebangsawanan dan vonis, untuk menyindir orang-orang yang mendapatnya di atas kertas. Artinya, mereka secara legal dianggap sebagai bangsawan hanya karena berdasarkan surat keputusan pengadilan kolonial, bukan karena trah darah biru yang nyata. Pada dekade tersebut adalah banyaknya orang yang membayar sejumlah uang dan memberikan bukti kepada pengadilan guna memulihkan status wangsa leluhur mereka.
Pemanfaatan sistem kasta oleh Belanda sebagai instrumen kolonial berlangsung secara efektif baik administratif maupun politik. Struktur kasta dijadikan dasar pemerintahan tidak langsung dengan memberik peran kepada Brahmana dan bangsawam dalam birokrasi kolonial. Mereka yang ditaklukan pasca perang tidak semuanya disingkirkan. Banyak yang justru diangkat menjadi pejabat lokal. Institusi feodal tetap dipertahankan menjadikannya bagian dari administrasi Belanda. Melalui para raja dan punggawa sebagai pejabat lokal, pemerintah Hindia Belanda dapat mengumpulkan pajak dan hasil bumi lebih efektif. Para bangsawan tradisional ini pada dasarnya sudah memiliki hubungan patron klien dengan
rakyatnya yakni golongan Sudra sehingga Belanda tinggal memanfaatkan. Sistem pajak dan penyaluran tenaga kerja paksa sering melibatkan kepada desa atau punggawa lokal, yang biasanya diduduki pria berdarah Tri Wangsa karena dianggap terpandang dan disegani di masyarakat. Dengan kata lain, kasta tinggi dijadikan perpanjangan tangan pemerintah kolonial untuk mengatur masyarakat bawah. Ini sesuai dengan kepentingan Belanda sebagai penguasa untuk mengontrol hingga level desa tanpa harus selalu hadir langsung.
Tentu saja politik pecah belah menjadi semakin efektif. Pemerintah kolonial dengan sengaja membesar-besarkan jurang pemisah antara kaum bangsawan yang diberi keistimewaan berupa peneguhan status sosial dengan rakyat biasa. Strategi ini berhasil membingungkan masyarakat Bali yang sebelumnya mengenal sistem sosial berdasarkan varna yang lebih fleksibel. Akibatnya timbul semacam konflik horizontal terselubung, di mana rakyat dihimpun terpisah dari elit dan elit lokal tergantung kepada Belanda. Bahkan ketegangan ini menjadi mengeras ketika media massa pada tahun 1920-an seperti majalah Suryakanta yang didirikan oleh golongan terpelajar non bangsawan mengkritik sistem kasta dan privilese Triwangsa. Itu dibalas oleh kaum bangsawan terpelajar dengan majalh tandingan, Bali Adnyana. Adu argumentasi menunjukkan kasta dipolitisasi. Di satu sisi, Belanda mengakomodasi Tri Wangsa supaya tetap berpihak kepada kolonial, namun di sisi lain muncul golongan rakyat berpendidikan yang menyadari ketidakadilan tersebut.
Lebih jauh, Belanda juga mengkodifikasi aturan-aturan adat yang memperkuat supremasi kasta tinggi. Semisal, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan terkait Asu Pundung dan Alangkahi Karang Ulu yakni sanksi adat bagi pelanggaran perkawinan antar kasta dengan ancaman hukuman berat bagi pelanggarnya. Asu Pundung ~secara harfiah berarti menggendonganjing, adalah hukuman bagi pernikahan antara seorang perempuan dari kasta Brahmana dengan seorang lelaki dari wangsa Ksatria, Waisya, atau Sudra. Dalam praktiknya juga dilakukan dengan upacara Patiwangi untuk “menghapus wangi” atau status sosial si perempuan. Alangkahi Karang Ulu terkait dengan pelanggaran adat seperti perkawinan di mana seorang perempuan dari kasta Ksatria menikahi laki-laki dari kasta Waisya atau Sudra, atau seorang perempuan Waisya menikahi laki-laki Sudra. Ini juga dimaknai dengan pelanggaran lain seperti adik yang mendahului kakah menikah, atau pernikahan tidak setara yang “melewati kepala” keluarga.
Belanda mendukung pemberlakuan sanksi-sanksi adat ini dalam hukum positif kolonial demi menyenangkan para bangsawan konservatif meski sejatinya mengalnggar hak asasi. Dengan demikian, Belanda mendapat dukungan politik secara timbal balik dengan memanjakan elit tradisional melalui perlindungan hukum kasta. Kaum Tri Wangsa merasa kepentingan dan martabatnya dijaga pemerintah sehingga bersedia bekerjasama. Intinya, sistem kasta dijadikan Belanda sebagai alat kontrol sosial. Stratifikasi yang rigid memastikan tidak adanyanya persatuan yang kuat antara elit dan rakyat untuk melawan Belanda. Selagi para raja dan bangsawan menikmati gelar dan jabatan. Maka para petani Sudra tetap di bawah dan tidak punya akses terhadap kekuasaan.
Pada masa prakolonial, naik atau turunnya kasta seseorang sebagai perubahan status sosial umumnya terjadi karena peristiwa politik seperti perang, penaklukan atau pemberontakan. Pihak yang kalah harus kabur menghilang, melarikan diri dan hidup tidak diketahui keberadaannya. Menyembunyikan gelar atau nyineb wangsa, menjadi orang biasa, hingga kemudian bisa kembali lagi jika situasi memungkinkan atau tidak sama sekali. Akan tetapi selama masa kolonial Belanda, perang bukan satu-satunya faktor. Ada mekanisme baru yang membuat status sosial seseorang bisa berubah karena hal lain seperti hutang, perkawinan, penghargaan kolonial atau beli gelar.
Terkait hutang, kondisi ekonomi bisa mempengaruhi perubahan status sosial meski tidak diatur secara formal sebagai perubahan kasta. Seorang bangwawan yang terlilit hutang besar ~misalnya kepada pedagang Tionghoa atau pihak lain, bisa kehilangan tanah, puri atau pengaruhnya. Secara de facto ia mungkin turunderajat di mata masyarakat jika hartanya ludes. Dalam beberapa kasus, bangsawan yang bangkrut terpaksa menyerahkan hak-hak istimewanya atau menjual gelar dan aset kepada orang kaya non-bangsawan. Hal ini tentu menggeser status sosial walaupun garis keturunannya tidak berubah. Sebaliknya, orang kaya dari kasta rendah pada masa kolonialbisa membeli tanah atau jabatan yang membuatnya terpandang mendekati status bangsawan, meski dia sendiri tetap secara genealogis adalah Sudra. Contoh ekstrim adalah praktik membeli gelar kebangsawanan agar diakui sebagai “Arya” atau “Gusti”. Dengan uang dan surat ponis, status sosialnya naik secara legal.
Pemerintah kolonial juga kadang memberi titel atau penghargaan kepada tokoh lokal atas jasanya. Misal, seorang kepala desa yang sangat loyal, mungkin diberi gelar kehormatan Raden atau Gusti. ~meski ini lebih lazim di Jawa, sedangkan di Bali gelar umumnya masih terkait trah. Di Bali, penghargaan terbesar adalah diangkat menjadi pejabat swapraja. Seperti disebut sebelumnya, Dewa Agung Oka Geg dari Klungkung sebenarnya naik kembali statusnya menjadi raja berkat penunjukan Belanda. Demikian pula tokoh dari luar keluarga raja, jika sangat berjasa, bisa saja diangkat menjadi punggawa dengan hak-hak bangsawan. Penghargaan ini efektif mengubah status sosial individu tersebut dan keturunannya.
Demikian pula dengan perkawinan, di mana perkawinan lintas kasta sangat mempengaruhi status terutama bagi perempuan. Menurut adat Bali, perempuan yang menikah “turun” kasta akan mengikuti kasta suaminya. Jadi bila seorang perempuan Brahmana kawin dengan lelaki Sudra (nyerod), si perempuan dianggap turun kasta menjadi Sudra. Keluarga Brahmana kadang melakukan upacara penurunan status (patiwangi) yang pahit ~inilah asu pundung tadi, dan setelah itu si perempuan tidak diakui lagi sebagai Brahmana. Maka Hal ini terjadi bukan karena perang, melainkan pilihan pribadi atau perkawinan namun berdampak sosial besar. Sebaliknya, perkawinan bisa pula menaikkan status ~meski jarang diakui resmi,
misalnya lelaki Sudra menikahi perempuan bangsawan. Secara adat tidak mengubah kasta sang lelaki dan tetap Sudra, tapi anak-anak mereka biasanya dianggap kasta lebih rendah dari garis ibu. Itulah sebabnya dalam masyarakat kolonial yang telah terklasifikasi, fenomena turun kasta ini sangat ditakuti. Banyak keluarga Tri Wangsa melarang keturunannya menikah dengan “masyarakat tak berkasta” ~atau dimaksud Sudra, karena khawatir kehilangan status. Dengan demikian, perkawinan menjadi salah satu cara di luar perang yang paling nyata mengubah status sosial seseorang.
Selain perihal surat ponis, ada pula aturan adat seperti paswara dan awig-awig yang memungkinkan adopsi anak dari kasta lain. Misalnya, jika suatu keluarga bangsawan tidak memiliki pewaris laki-laki, mereka dapat mengangkat anak angkat dari kerabat jauh atau bahkan dari luar, agar marga dan gelar tetap lestari. Adopsi semacam ini kadang membutuhkan izin Raad van Kerta di masa kolonial. Anak angkat yang disahkan bisa naik kasta mengikuti orang tua angkatnya. Sebaliknya, jika sebuah keluarga bangsawan punah tanpa keturunan dan tidak mengangkat pewaris, status puri mereka hilang. Ini dapat dilihat sebagai turunnya derajat suatu trah tanpa ada perang, melainkan karena faktor keturunan. Maka dapat disimpulkan bahwa pada masa kolonial mobilitas sosial lebih variatif; uang, pendidikan, atau kedekatan dengan penguasa kolonial bisa mengubah nasib kasta seseorang. Muncul istilah seperti "naik wangsa" untuk mereka yang berhasil meningkatkan status, dan "jatuh wangsa" untuk yang merosot. Hal-hal ini semua terjadi di luar konteks peperangan, dan difasilitasi oleh sistem hukum-adat kolonial seperti Raad van Kerta yang mengizinkan rekayasa status dengan legitimasi pemerintah.
Lebih jauh, gelarapa saja yang diatur dan dilembagakan secara administratif berdasarkan Staatsblad dan keputusan Raad van Kerta oleh pemerintah kolonial? Pertama, kasta Brahmana yang merupakan kasta pendeta atau rohaniwan. Dalam nama orang Bali, kasta Brahmana ditandai dengan gelar Ida. Lelaki Brahmana umumnya memakai Ida Bagus di depan nama, dan perempuan Ida Ayu (Dayu). Contoh Ida Bagus Made dan Ida Ayu Ketut. Gelar Ida Bagus khusus untuk lelaki yang kedua orang tuanya Brahmana. Kalau hanya ayahnya Brahmana tapi ibunya bukan, biasanya cukup Ida. Sebagai kelas para Pedanda atau pendeta Siwa Budha yang dihormati, Belanda tidak banyak mengutak-atik mereka karena sudah mapan sebelum kolonial.
Kedua, kasta Ksatria atau raja dan para ningrat bangsawan. Di Bali, golongan ksatria utamanya berasal dari Dinasti Dalem Klungkung dan cabang-cabangnya. Kolonial Belanda menetapkan sejumlah gelar jabatan untuk para raja Ksatria ini. Ida I Dewa Agung adalah gelar tertinggi bagi raja Klungkung sebagai pewaris trah Dalem. Contoh, Ida I Dewa Agung Oka Geg raja Klungkung pasca 1929. Berikutnya, gelar Tjokorda atau Tjok atau akronim dari Tjokor Ida atau kaki dari Ida. Ini gelar bagi raja berkuasa di Badung dan Tabanan. Gelarini sebelumnya tidak ada di Bali kuno dan diperkenalkan kolonial tahun 1929. Lalu, Anak Agung sebagai gelar raja untuk wilayah Karangasem, Gianyar, Bangli, Buleleng, dan Jembrana. Istilah Anak Agung aslinya berarti anak bangsawan agung. Pada masa Belanda dijadikan titel resmi jabatan raja di lima wilayah tersebut. Khusus Karangasem kadang disebut Anak Agung Agung untuk menandakan keutamaan di antara Anak Agung lain. Ada juga I Dewa atau I Dewa Agung, sebagai gelar kastria yang dipakai keluarga raja yang tidak sedang memerintah. Misalnya, putra-putra Raja Klungkung dari istri selir bergelar Cokorda, sementara putra dari istri permaisuri bergelar Ida I Dewa. Keluarga raja di Gianyar dan Bangli sebagai keturunan Dalem yang berbeda sering memakai gelar I Dewa atau Anak Agung dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan keturunan ksatria kadang bergelar Cokorda Istri (jika ayahnya Cokorda) atau Anak Agung Istri. Gelar Ksatria yang lebih rendah misalnya Ngakan (lelaki) atau Desak (perempuan), digunakan untuk keturunan Raja Klungkung dari istri berkasta lebih rendah. Ini menandakan cabang keluarga bangsawan yang “darahnyamengencer” karena pernikahan campur kasta. Ada juga Bagus (lelaki) dan Ayu (perempuan)
dipakai untuk keturunan jauh Dinasti Dalem yang tidak memegang kuasa. Kemudian Sang (lelaki) dan Sang Ayu (perempuan) sebagai gelar untuk keturunan bangsawan lokal atau bendesa yang diangkat menjadi ksatria oleh raja.
Jika ditelisik, gelar Anak Agung dan Cokorda pada hakekatnya adalah gelar jabatan raja, bukan gelar keturunan murni. SeusaiBelanda memulihkan kedudukan para raja sebagai penguasa swapraja pada tahun
1938, gelar ini diresmikan bagi jabatan mereka. Secara aturan, hanya raja yang tengah menjabat yang berhak dipanggil Anak Agung atau Cokorda. Namun dalam praktiknya, anak-cucu mereka pun ikut menyandang gelar ini meski tidak memerintah. Sebenarnya, bagi putra-putri raja Badung dan Tabanan titel yang tepat cukup I Gusti Agung, dan untuk keturunan Buleleng dan Jembrana cukup I Gusti, tetapi adat keburu menganggap seluruh keluarga raja sebagai Anak Agung atau Cokorda. Inilah salah satu warisan kolonial yang menimbulkan inflasi gelar di Bali modern.
Inflasi juga terjadi dalam kasta Waisya yang lebih rendah. Secara historis, kasta ini adalah golongan Arya atau keturunan pejabat atau ksatria Majapahit yang bukan keluarga raja. Melalui Raad van Kerta juga Belanda mengatur dan merumuskan gelar-gelar mereka. Pertama, I Gusti Agung adalah gelar bagi pria Waisya yang zaman dulu memegang kekuasaan lokal. Istri mereka disebut Sagung. Orang lain menyapa mereka dengan Anak Agung (lelaki) dan Sagung (perempuan), meski asal-usulnya golongan Arya. Misalnya, keturunan patih Majapahit seperti Arya Damar di Gelgel yang menjadi penguasa daerah mendapat titel I Gusti Agung. Kemudian ada I Gusti (lelaki) dan I atau Ini Gusti Ayu (perempuan), gelar umum para pria Weisya yang digunakan oleh mereka yang tidak memerintah. Jika seorang I Gusti pernah berkuasa atas wilayah kecil, ia dan anak lelakinya bisa disebut I Gusti Agung, sedangkan anak perempuannya Sagung. Lalu ada Gusi atau Si (lelaki) dan Si Luh (perempuan) sebagai gelar yang sangat rendah dalam kelompok Waisya. Ini menunjukkan kompleksitas stratifikasi internal, namun dalam administrasi kolonial tidak terlalu ditonjolkan.
Bagi 90% populasi warga orang Bali dengan kasta Sudra, Pemerintah kolonial tidak memberikan titel khusus bagi mereka dan cukup dicap Inlander biasa. Akibatnya, identitas Sudra semakin homogen sementara identitas Tri Wangsa semakin beragam dengan gelar administratif baru. Orang Sudra umumnya umumnya tidak memiliki gelar di depan nama, melainkan menggunakan I (untuk lelaki) dan Ini atau Luh (perempuan) sebagai kata ganti orang Bali biasa. Nama Putu, Made, Nyoman dan Ketut adalah tata urutan kelahiran yang berlaku bagi semua orang Bali meski sebagian besar pemakai adalah Sudra.
Semua gelar di atas diadministrasikan lewat peraturan kolonial. Staatsblad No.226 tahun 1929 menetapkan gelar resmi para raja, sedangkan detail gelar lainnya tersusun dalam berbagai putusan Raad van Kerta dan praktik adat yang distandardisasi sekitar 1930-an. Pada intinya, Belanda mengambil struktur nama feodal tradisional, lalu menyeragamkannya untuk seluruh Bali guna keperluan birokrasi. Hasilnya adalah sistem gelar kasta yang uniform dan kaku; siapa termasuk golongan mana langsung tercermin dari namanya. Bahkan hingga kini, orang Bali bisa ditebak kastanya hanya dari nama depan (Ida Bagus = Brahmana, Cokorda, Anak Agung = bangsawan, I/Ni = Sudra, dan seterusnya). Hal ini menunjukkan betapa kuat dan efektifnya Belanda melembagakan sistem kasta melalui tata nama dan titel.
Apa dampaknya hingga saat ini? Warisan sistem kasta yang diperkuat pada masa kolonial masih terasa di Bali masa kini, baik dalam tata nama, struktur sosial, maupun mentalitas masyarakat. Nama-nama Bali modern masih mengandung gelar seperti Ida Bagus, Ida Ayu, Cokorda, Anak Agung, I Gusti, Ni Gusti Ayu, dal lain-lain yang sejatinya adalah hasil institusionalisasi era kolonial. Meskipun Indonesia setelah merdeka tidak mengakui status bangsawan secara hukum, di Bali gelar-gelar ini tetap dipakai sebagai identitas kultural. Akibatnya, stratifikasi sosial tradisional terus hidup secara informal. Sebagian kalangan masyarakat Bali masih memegang teguhtradisi kasta. Tidak jarang fanatisme kasta muncul, misalnya keluarga bergelar tinggi yang melarang anaknya menikah dengan orang “tanpa kasta” atau Sudra. Kekhawatiran turun kasta ~seperti yang ditanamkan sejak zaman kolonial, masih ada hingga sekarang, Ini mengindikasikan bahwa politik pecah-belah Belanda melalui kasta seakan “menjajah Bali hingga saat ini” dalam bentuk residu budaya. Artinya, meski Belanda fisik sudah pergi, pola pikir feodalisme kasta yang
mereka legalkan masih memecah masyarakat Bali dalam hal perjodohan dan pergaulan.
Dampak lain adalah feodalisme terselubung dalam hubungan sosial. Isu kasta menyisakan hubungan kekerabatan yang vertikal tertutup ~semacam hierarki sosial yang enggandibicarakan terbuka. Banyak orang enggan mengangkat isu diskriminasi kasta di forum resmi, namun merasakan di keseharian. Misalnya, dalam upacara adat tertentu, kaum Sudra masih berperan sebagai pengayah atau peladen, sementara posisi pendeta tinggi hanya dipegang Ida Pedanda dari kelas Brahmana. Juga dalam struktur organisasi desa adat, terkadang keturunan bangsawan lebih mudah jadi bendesa adat. Hal-hal ini merupakan sisa struktur kolonial yang memberi privilese berdasarkan garis keturunan.
Di satu sisi, sesuai perkembangan zaman sistem kasta di Bali kian melunak. Itu tidak lagi menjadi pegangan mutlak dalam menentukan persan seseorang di masyarakat. Pendidikan dan ekonomi telah membuka peluang, sehingga orang dari warna apapun dapat menjadi pejabat, pengusaha, seniman, pemuka agama, tanpa terhalang asal kastanya. Kompetensi dan moral lebih diutamakan. Maka kekerabatan yang dahulu bersifat relasi vertikal tertutup, ke depannya bisa menjadi horizontal sebagai pergeseran nilai. Artinya, berbeda secara tradisi tapi setara dalam kedudukan sosial. Sudah banyak contoh orang dan tokoh Bali dari kalangan biasa yang sukses. Ini juga dipengaruhi oleh reformasi agraria dan pendidikan nasional sejak 1950-an juga meratakan lapisan masyarakat. Lembaga adat seperti Raad van Kerta yang dulu menjaga sistem kasta dibubarkan tahun 1951-1952 dan digantikan pengadilan negeri, menandai berakhirnya kekuatan hukum kasta.
Di sisi lain, jejak kolonial tak sepenuhnya hilang. Stratifikasi sosial di Bali kini lebih menyoroti soal soroh atau klan, ketimbang sistem kasta Hindu ortodoks. Upaya konseptualisasi ulang dilakukan oleh para cendekiawan Bali yang menekankan bahwa konsep asli adalah Catur Varna (berdasar kualitas atau pekerjaan) dan mendorong penggunaan istilah warga atau soroh daripada kasta. Kendati begitu, fakta bahwa tata nama dan gelar warisan Belanda masih melekat menunjukkan kekuatan warisan kolonial. Sistem tata nama kasta ini telah merasuk di setiap insan orang Bali, diwariskan turun-temurun sehingga sukar dihapus. Banyak orang Bali sendiri kadang lupa bahwa gelar Anak Agung, Cokorda dan sebagainya sebenarnya berasal dari kasta pemberian penjajah Belanda.
Pemerintah kolonial berhasil mengatur dan memperkuat sistem kasta di Bali melalui berbagai kebijakan (1910, 1929, 1938), pemberian gelar (ponis), dan pemanfaatan kasta untuk administrasi. Hal ini meninggalkan dampak jangka panjang terhadap struktur sosial Bali yang terbawa hingga kini. Meskipun dalam kehidupan modern pengaruhnya mulai memudar dan lebih egaliter, perdebatan tentang kasta masih muncul dalam wacana kebudayaan dan kehidupan sehari-hari. Warisan kolonial ini ibarat pedang bermata dua. Di satu pihak menjadi keunikan budaya Bali yang “tiada duanya” sebagai heritage. Akan tetapi di lain pihak menyimpan potensi konflik kelas dan ketidakadilan jika disalahpahami. Bali masa kini terus berupaya memahami dan mengelola warisan tersebut agar selaras dengan nilai-nilai kebangsaan Indonesia yang menjunjung kesetaraan. ***