Baik urusan profesi, bisnis maupun personal, sering orang masih keliru melihat atau menetapkan ukuran kesuksesan. Misalnya saja dalam soal pekerjaan; ukuran sukses adalah punya pangkat dan jabatan tinggi dan gaji besar. Kalo gajinya biasa aja, paling tidak fasilitas harus bisa lebih dari cukup. Maka nggak heran jika mereka yang bekerja atau bahkan belum masuk ke dunia itu pun kerap memimpikan bagaimana profesi yang bisa menjamin anak cucu, nyaman, sedikit tekanan, kalo bisa malah balik nekan orang. Profesi yang awalnya ada untuk melayani publik kemudian bisa berganti menjadi dilayani oleh publik. Segudang privilese pun jadi incaran. Mereka yang terlempar dari dunia itu baik pengsiun, dipecat atau mantan kemudian masih juga ngarep bisa dapet kemudahan. Mereka yang bisanya cuma ngintip kemudian gantian merasa bahwa ada sebuah kepantasan juga jika privilese itu juga bisa diicip meski harus keluar duit. Nggak percaya? Lihat saja sirine nguing-nguing atau lampu strobo minta jalan. Seringkali dilakukan malah oleh mereka yang bukan pejabat. Oleh karena tau persis nikmatnya dapat jalan maka itu pun ditiru secara berlebihan. Lantas bagaimana yang ada di lingkar terdalam? Sama saja, bahkan banyak juga yang aji mumpung. Sebab ketika sudah tidak ada di situ, hidup bakal beda antara langit dan bumi.
Salah kaprah yang kedua adalah berkaitan dengan bisnis. Ukuran yang suka dipakai adalah melihat bahwa orang yang sukses dalam dunia bisnis adalah yang punya produk laris manis, profit gede, cabang dimana-mana sampe ke bulan, karyawan bisa melimpah hingga ribuan dan konsumen selalu loyal dan menjanjikan. Padahal nggak semua bisnis bisa begitu. One in the million ceritanya. kalo pun ada usianya bisa ditebak. Jika mampu bertahan lama, upaya untuk bisa membuatnya demikian adalah mengorbankan banyak hal termasuk tidur. Maka organisasi bisnis sudah nggak lagi berkutat soal visi misi, tapi purpose alias tujuan dari bisnis itu hingga bisa eksis. Sejauh mana bisnis bisa punya kegunaan dan berdampak positif bagi orang lain. Maka nggak heran, kalo misalnya cerita seperti seperti Office Boy di organisasi angkasa luar raksasa ditanya, kerja lu ngapain? Jika dia dia sambil nyapu dan menjawab bahwa pekerjaannya adalah mengirim orang ke bulan, maka purpose dari organisasi itu terjawab sudah. Menyapu adalah hal penting yang dilakukan karena dia tau bahwa apa yang dikerjakan menunjang tujuan bersama. Nah, bayangin kalo ada bisnis atau kantor kayak gitu. Jadi bukan semata untung per bulan per semester per tahun, atau menggurita sana sini.
Demikian juga yang ketiga dengan kesuksesan personal. Ukuran yang sering dipake adalah punya duit banyak gegara gaji gede, penghasilan bisa milyaran, atau katakanlah kayak anak muda jaman sekarang pengen punya pasangan ganteng yang usianya di bawah 30 tahun tapi sebulan gajinya seratus juta, punya aset pribadi, bini cantik, dan sebagainya. Tapi ukuran begitu suka nggak berbanding dengan kenyataan; usia makin menua, badan tambah tambun botak kisut, liabilities tinggi gegara banyak tagihan dan apa yang dikira set ternyata nggak menghasilkan. Punya rumah gede ternyata nggak menghasilkan apa-apa lantaran yang ada hanya biaya perawatan tiap tahun. Apalagi punya kendaraan; sama aja. Masih mending kang ojek karena motor atau mobilnya bisa menghasilkan income. Situ beli mahal-mahal pake kredit cuma dipajang doang. Lama-lama yang miskin memang tambah miskin karena tidak membedakan mana aset yang dibeli sebagai seuntungan dari perputaran income dan bisa diduitin lagi, dan mana liabilities yang terus menumpuk macem biaya perawatan, iuran, tagihan dan cicilan sementara yang dibeli nggak bisa diberdayakan. Lama-lama harta benda bisa habis karena memang bukan masuk aset. Gaji? ntar juga ada waktunya pengsiun, dipecat atau dipaksa resign. Ganteng cantik? Masuk liabilities yang nilainya tiap tahun menyusut karena kisut.
"Don't confuse fame with success. Madonna is one; Helen Keller is the other." ~Erma Bombeck
Jadi sukses itu sementara. Yang bikin lama adalah upaya terus menerus nggak kenal ampun untuk bisa memperpanjangnya dengan membuat setiap detik dalam hidup ini benar-benar berharga. Apalagi orang biasa di jaman krisis gini butuh manajemen waktu, manajemen proyek dan juga manajemen komunikasi yang baik. Cari relasi yang bermangpaat, endus peluang sana sini, berani ambil resiko, bangkit dari keputusasaan dan terutama membuat diri berguna untuk orang lain. Kalo kagak, cuma jadi beban doang. Mending beban keluarga. Gimana jika jadi beban negara? Tambah ngerepotin kan.