Kalo punya cita-cita, orang akan cenderung memperlakukan setinggi-tingginya. Setinggi langit, demikian ungkapan yang pernah ada. Cita-cita memang sudah pasti kayak gitu. Maka nggak heran kalo bocil-bocil pas sekolah dasar maunya jadi pilot, guru, dokter, polisi, tentara dan sejenisnya; profesi yang sudah masuk pada exposure sejak dini. Nggak ada yang mau jadi konsultan, pialang, atau pekerjaan yang belum dipahami. Meski ada juga yang pengen jadi babang ojol atau bikin startup karena bisa melihat itu. Cita-cita, mau kayak apa nggak pernah salah. Selain itu ekspresi wawasan, cita-cita juga beraeti harapan ke depan. Semoga jalannya mulus, selalu ada duit buat bayar sekolah dan kuliah, dapet lingkungan yang mendukung, pansoslah dikit kalo perlu, saling piting injek jilat demi apa yang diinginkan. Toh kelak akan berguguran pada waktunya. Apa yang jadi keinginan di waktu belia, belum tentu kesampaian kelak karena banyak faktor. Itu biasa.
Meski demikian, mengusung cita-cita juga kudu pake perhitungan. Maklum saja, namanya bocah kan masih dianggap spontan. Jarang yang kemudian menjadi sangat serius untuk mengejar keinginan. Cita-cita jadi iseng-iseng berhadiah. Mau jadi dokter? Sudah pasti nilai mata pelajaran harus bagus, masuk IPA, kemudian mempersiapkan diri buat seleksi, nggak lupa bayar ongkos yang mahal, kalo lulus jalan juga masih panjang, koas dulu, praktek di daerah, belum ntar cari duit buat jadi spesialis. Artinya, harus punya support system yang mendukung. Kalo orang tua dokter, apalagi pemilik rumah sakit ya sudah pasti mulus. Itu sama kayak profesi lain seperti tentara, polisi, atau apapun yang mencerminkan sebuah kelas sosial elit di masyarakat. Diwariskan turun temurun dan sudah pasti punya power selain materi dan posisi.
Lantas apakah itu menutup kemungkinan orang lain untuk meraih yang sama? Jelas tidak, cuma lebih keringetan aja. Persiapan juga kayak orang buta mendadak hanya tau sebulan dua bulan sebelum pendaftaran. Beda dengan mereka yang sejak usia dini di dalam sebuah keluarga sudah mempersiapkan diri bertahun-tahun sebelumnya. Ibarat mau ikut lomba, orang biasa cuma ngeh pas pendaftaran di buka. Sementara yang sudah menjadi profesi keluarga, sudah siap dengan segala simulasi, ujicoba, trial bahkan gladi untuk tau dan percaya diri akan menang. Maka nggak heran jika kelas sosial elit macam itu akan sanggup mewariskan dan mempertahankan diri, sedangkan mayoritas yang mencoba masuk bakal gugur karena sudah kalah bersaing dari awal.
“By faithfully working eight hours a day you may eventually get to be boss and work twelve hours a day.” ~Robert Frost
Jadi bayangin kalo ada sekelompok orang yang sama-sama tidak serius, hanya ngemeng doang, berharap bisa menembus persaingan, tangan menggapai setinggi langit dengan modal angan tapi kaki tidak menjejak tanah? Sudah pasti hanya mengulang kegagalan. kok gitu? Sebab cita-cita tidak ada yang terlalu tinggi. Kalo bisa memang setinggi-tingginya. Tapi menyiapkan jalan untuk bisa meraih cita bukan soal gampang dan cepat. Harus sudah dibangun sejak dini supaya hasilnya kelihatan. Tidak ada kata bisa segera jadi atau instan. Orang boleh curiga tentang kesuksesan yang mendadak, bisa jadi dibangun atas dasar pencapaian orang lain atau malah palsu adanya. Kaki yang menjejak tanah berarti mengukur segala hal atas dasar kemampuan, komitmen dan konsistensi. belum lagi modal personal dan modal sosial seperti jejaring, pengaruh, hingga politik. Meski bukan hal yang primer, tanpa itu sudah pasti bakal nabrak tembok. Apa lagi? Sikap cepat puas juga dapat membunuh cita-cita. Itulah sebabnya evaluasi jadi penting. Percuma refleksi melulu tapi nggak ada perbaikan. Sia-sia mengulang jika cara yang sama dan gagal tetap dipertahankan.
Cita-cita memang nggak gampang. Lebih nggak gampang lagi kalo sudah tua, ogah keringetan tapi pengen dibilang berhasil. Payah kan?