Setiap orang punya cara masing-masing dalam mengisi hidup. Ada yang bekerja mati-matian dengan dua atau lebih profesi karena dirasa tidak cukup untuk kantong, ada juga yang membenam diri ke dalam satu kegiatan tanpa pernah berpikir seperti apa kelak di ujung. Ada yang merasa sudah mendapat ruang untuk bisa berekspresi dan berkreasi dalam sebuah pekerjaan, ada juga yang setengah mengeluh harus menjalani tanpa sedikitpun ada apresiasi.
Padahal kalo dipikir, bekerja untuk mendapatkan penghasilan yang memadai memang penting. Akan tetapi lebih penting lagi jika apa yang dikerjakan itu bisa dihargai tidak saja dengan materi tetapi juga dorongan, pujian, motivasi dan bentuk serupa agar orang bisa menjadi semangat. Maka tidak heran jika apresiasi jadi penting. Seorang karyawan yang dipuji boss, seorang profesional yang didecak kagum oleh klien, atau bahkan orang yang melayani dan mendapat ucapan terimakasih. Sesederhana itu sebenarnya. Bahkan tindakan kecil dapat membuat orang yang bekerja bisa menjadi lebih semangat di dalam hari yang penuh tekanan.
Meski kelihatan sederhana, tapi ternyata tidak segampang itu. Banyak orang yang merasa bekerja tidak sesuai tempat, tidak sejalan dengan bidang dan latar pendidikan, tidak cocok dengan usia, bahkan tidak sama dengan ekspektasi dan harapan ke depan. Terpaksa? Bisa jadi pada awalnya emang nggak ada pilihan. Atau ketika memulai, ada proyeksi yang ternyata meleset dan salah perhitungan. Bisa juga karena memang tidak ada bayangan sama sekali, sekedar ikut-ikutan atau ogah capek. Apalagi orang-orang yang merasa tercerahkan dan pintar karena pendidikan, tapi apa yang dipelajari dan diterapkan tidak sinkron dengan skenario dunia kerja yang bagai kolam raksasa itu. Biasa nyaman di selokan tetiba dihadapi lautan yang luas. Ya mana bisa. Akhirnya larut dalam peran yang cuma ada di pinggiran atau sekedar mengisi biar ada kegiatan.
Sebab tanpa passion atau hasrat, pekerjaan semewah dan segede apapun pendapatannya juga nggak akan berasa. Sebaliknya, yang didam-idamkan tapi tidak menjanjikan atau tidak sesuai harapan juga bakal anyep. Artinya? Ya sama aja. Semua ada harga yang harus bisa ditebus dan tidaklah sama. Orang yang kelihatan berpenghasilan besar dari gaji, ternyata harus menyisihkan dana rutin hingga nyaris tak bersisa. Apalagi di negara ini sudah biasa besar pasak dari tiang; gaji lima juta nyicil motor, gaji lima puluh juga nyicil mersi. Belum lagi dianggap sebagai celengan babik yang harus siap bantu sanak saudara handai tolan mulai dari sekedar jajanin hingga bayarin tagihan. Demikian juga orang yang hanya pasrah bekerja dengan pendapatan tak seberapa. Tak punya banyak pilihan sampe-sampe mau beli sesuatu aja harus nunggu honor cair duluan. Pengen punya ini itu gigit biji gegara tinggal impian di tengah kebutuhan yang lebih mendesak. Ujungnya ya orang lain juga yang harus diempanin kan?
“It’s a hard thing to leave any deeply routine life, even if you hate it.” ~John Steinbeck, East of Eden
Jadi keduanya tetap fokus pada situasi yang tidak berujung hingga kelak nanti pengsiun, sakit-sakitan, atau udah nggak dipake lagi. Tidakkah terpikir untuk melakukan yang lebih baik? Sudah pasti. Hanya saja, alasan yang menegasi adalah kembali klise dengan soal tidak ada waktu, mana sempat, nggak kepikir, takut terhadap resiko dan sebagainya. Contoh yang paling gampang adalah para calon pengsiunan yang mulai panik kalo berhenti kerja mau makan apa. Masa iya ngandelin duit jatah bulanan? Otomatis ketika sudah punya dana yang memadai, pikirannya ya berbisnis. Tapi mereka lupa bahwa seumur hidup mindset pegawai itu sudah sedemikian mencengkeram. Nggak ngerti cara bisnis dan resiko yang didapat. Pengen untung gede dengan modal seirit-iritnya. Akhirnya bures ludes juga. Entah gagal, bodoh atau ditipu. Apalagi kerja yang cuma dibayar ngandelin kontrak. Tau-tau diputus, nadah tangan. Usia bertambah tua, tapi rutinitas jadi menjengkelkan. Modal yang dikeluarkan semakin besar, dan hanya bergantung kepada pola yang sama. Lantas mau jadi apa?
Maka terjebak kepada rutinitas itu bikin ngeri. Di satu sisi bisa ayik masyuk membius lupa beban, tapi di sisi lain beban yang sesungguhnya baru muncul perlahan. Uang di tangan menjadi lebih tidak berarti. Pengeluaran makin besar. Hasrat sudah kalah telak oleh dinamika perkembangan dan kompetisi yang makin keras. Modal sosial ekonomi makin menyusut. Cuma kepedean aja yang masih bersisa. Tidak ada inovasi dan perkembangan yang berarti. Kalo makin nyinyir, itu tandanya dunia sudah berubah. Siap-siap aja kan jadinya?