Di masa sekarang, kesepian menjadi menu utama yang tidak selalu berkaitan dengan modernitas. Kehidupan modern seringkali disalahkan menjadi penyebab orang merasa kesepian. Sepi di tengah keramaian. Meski kelihatan banyak teman, wawawewe, banyak followers, likes dan comments, baik di media sosial maupun kumpal kumpul secara fisik, ternyata banyak orang merasa sepi. Ada sesuatu yang kosong. Kualitas pertemanan tidak lagi seperti yang pernah dirasakan seperti dulu. Semua sibuk dengan pikiran dan kekosongan masing-masing. Seringkali relasi dijalankan tidak dengan rasa tulus melainkan dengan kepentingan terukur dan material. Bsa dapet apa, profit apa. Kalo soal benefit itu sudah minimal. Maka relasi menjadi hal yang bersifat taktis. Ukuran strategis hanya dijalankan jika sama-sama punya kepentingan yang beririsan.
Sepi semacam itu bisa membunuh pelan-pelan. Nggak heran jika angka depresi menjadi sangat tinggi. Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Lebih dari 12 juta yang lain dalam usia sama mengalami depresi. Pada tahun 2021 Indonesia sudah memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar satu dari lima penduduk. Artinya, 20% dari populasi mempunyai potensi gangguan jiwa. Bayangin aja, itu dua puluh persen dari 250 juta jiwa lebih kan? Masalahnya belum tentu juga situ mampu bayangin. Persepsi orang dengan gangguan jiwa kerap dibayangkan adalah mereka yang lusuh kumal agresif dan berkeliaran di jalanan sampai kemudian ditangkep Dinas Sosial. Padahal bukan itu. Gangguan jiwa bisa terjadi pada siapa saja, termasuk yang rapi wangi kinclong kelihatan normal. Maka ukuran soal normal adalah subyektif.
Nah, kesepian bisa menjadi pemicu orang untuk kemudian menemukan keramaian dengan berbagai cara. Ramai dalam pengertian ini adalah mengisi kekosongan meski sifatnya hanya superfisial bahkan artifisial. Ada yang lari kepada soal eksistensi semu seperti di media sosial, ada yang mengejar makanan hingga berasa tidak pernah kenyang, ada yang berburu cuan seolah takut miskin, hingga nguber Tuhan biar pengen ada jaminan masuk sorga. Semua menimbulkan rasa tenang dan damai yang bersifat palsu dan sementara. Sebab sepi selalu membuat perasaan kuatir, cemas, takut, was-was dan berasa kurang akan selalu muncul. Jika perasaan-perasaan itu ada, maka orang cenderung akan menyalahkan diri sendiri. Seolah diri tidak bertanggung jawab dan menyia-nyiakan banyak hal. Ujungnya ya overthinking. Terlebih jika kemudian mulai membandingkan diri dengan yang lain. Ditambah dengan refleksi keliru soal hidup yang gitu-gitu doang. Sudah parno, konspiratif pula. Genap sudah.
“Remember: the time you feel lonely is the time you most need to be by yourself. Life's cruelest irony.” ~Douglas Coupland, Shampoo Planet
Itulah sebabnya kesepian menjadi sangat berbahaya. Manusia akan dengan sangat mudah larut dalam situasi yang sebenarnya sebagian besar diciptakan sendiri. Mengapa tidak mencoba untuk bersikap wajar dan alami memandang hidup? Seperti menyapa orang lain meski tidak ada kepentingan? Membantu orang lain tanpa berharap? Sebab isi kepada sudah penuh dengan pola pikir yang mengharuskan segala sesuatu ada timbal balik. Minimal secara material. Harus ada gain yang bisa diperoleh sebanyak-banyaknya dari usaha yang sedikit. Konsekuensinya, prevalensi dua puluh persen itu bisa menjadi bertambah banyak dan sakit jiwa adalah bentuk normal karena sudah jadi mayoritas. Gimana nggak ngeri.