Setiap orang tentu punya keinginan terhadap sesuatu. Entah soal karir, duit, pasangan hidup, keluarga, jalan-jalan, kebendaan atau materi lainnya. Apa yang diinginkan juga tidak terbatas terhadap apa yang dilihat. Bahkan yang nggak kelihatan juga dikejar. Mau jadi populer, terkenal, berasa keren, dan sebagainya. Tidak cukup hanya dengan itu, bahkan yang dinilai mustahil pun juga dikejar. Merindukan bulan pun bagi seekor pungguk juga dilihat masuk akal bukan?
Akan tetapi untuk bisa mewujudkan keinginan, angan, impian menjadi terkabul itu beneran nggak gampang. Biasanya sebagian besar hanya mentok di rencana. Sebagai gagasan konseptual, yang namanya rencana bisa dibuat sesuak hati. Mau besok atau tahun depan, mau sendiri atau bergerombol, mau sistematis atau sekenanya ya namanya juga rencana. Sudah pasti subyektif. Itu menyenangkan. Sebab kalo obyektif, si pembuat rencana dipaksa harus menghitung rinci dan detail sampai sekecil-kecilnya. Harus punya cadangan pula. Harus ada pintu keluar kalo seandainya gagal. Sebab rencana tanpa cadangan dan pintu keluar itu sama aja bunuh diri. Gagal bisa bikin nangis kicep nggak tau harus bagaimana.
Bahkan sebelum sampai rencana, ada tiga langkah yang harus benar-benar diyakini sudah terjawab lebih dahulu. Pertama, sudah pasti soal kemauan. Beneran mau? Kepengen? Kalo mau seberapa niat yang ada untuk mengejar? Banyak yang mengira bahwa menerjemahkan mau hanya cukup sampai proposal. Jelas nggak cukup. Mau harus sampai tuntas sekecil-kecilnya hingga pertanyaan lanjutan; kalo dah kesampaian terus mau apa? Jangan sampe kayak orang merasa sudah paripurna bisa ini itu tapi sebenarnya nggak banyak yang dilakukan. Itu sih bukan berurusan dengan kemauan, tapi kemaluan. Ego yang besar seringkali hanya bisa bilang iya ho'oh hayuk tapi nggak juga berani jalan.
Langkah kedua adalah soal kesanggupan. Seberapa mampu untuk mengerjakan? Sendiri atau rame-rame? punya tim atau orang yang dedicated nggak? Atau jangan-jangan itu semua maunya situ aja, yang lain cuma tepok tangan. Baru diminta kontribusinya aja udah tepok jidat. Mengukur kesanggupan jelas beda dengan kemauan. Kesanggupan punya ukuran yang lebih jelas. Jumlah orang, tenaga, waktu, duit bahkan fokus menjadi hitungan tersendiri. Sampe disini juga banyak yang keliru. Menyangka kalo ramean bakal lebih baik, tanpa modal bisa jalan, atau cukup disambi maka bisa kesampaian. Kalo nggak berani berkorban, jangan harap apapun bisa jalan. Sama kayak meresmikan bangunan dengan ritual batu pertama. Abis itu mangkrak juga bikin malu.
Langkah ketiga dan terpenting adalah apakah yang dikerjakan itu beneran punya purpose? Atau cuma sekedar mau eksis aja? Atau jangan-jangan udah kadung ketimbang nggak ada kerjaan sama sekali? Banyak cita-cita yang sudah diniati dan dikerjakan, ternyata bisa mentok muter nggak karuan karena orang udah nggak tau lagi makna dan tujuan yang sebenarnya. Itu sama kayak orang buang waktu, buang tenaga dan pikiran, buang kesempatan dan ujungnya cuma bisa buang hajat doang. Berak semua. Sebab sudah tidak fokus, tidak ada perencanaan yang lebih luas, hanya sibuk dengan aktivitas partikular. Jadi kelihatan bahwa tahapan demi tahapan akan jadi percuma kalo hanya sekedar bergiat ria aja. Itu persis seperti problem yang dihadapi banyak bisnis tanpa tujuan; hanya sekedar memproduksi tapi nggak tau buat apa lagi selain hanya mencoba tetap eksis di dalam pasar.
“The soul which has no fixed purpose in life is lost; to be everywhere, is to be nowhere.” ~ Michel de Montaigne
Maka merumuskan impian itu penting sampe sekecil-kecilnya, dijalankan sekuat-kuatnya, tapi juga punya makan sesadar-sadarnya. Tanpa kemauan, ya sama aja cuma nonton dari pinggiran. Tanpa kesanggupan, itu sama seperti mau terbang ke awan. Akan tetapi tanpa tujuan, nggak lebih dari buang waktu. Itulah sebabnya mimpi penting kalo ada yang beneran mau dicari. Kalo tidak, ya cukup tarik selimut lagi. Maish banyak mimpi yang harus dikejar dan dibuat konseptual. Tapi rencana tinggal rencana kan?