Banyak orang mengira bahwa sifat nakal dan kebiasaan bengal itu nggak ada faedahnya. Oleh karena itu sejak muda mereka sudah mencoba untuk membiasakan diri atau bahkan dibiasakan untuk taat, tunduk dan pada aturan. Katanya, biar adem nggak ada masalah. Selain itu dengan mencoba tertib maka akan ada ketentraman dan rasa nyaman, sehingga hidup bisa berjalan dengan baik-baik saja. Nggak perlu cari perkara, pokoknya ikutin apa yang ada. Nggak perlu juga neko-neko alias macem-macem sebab bakal meresahkan. Bayangin jika kelak timbul masalah; tentunya jadi runyam dan menyusahkan bukan diri sendiri tapi juga orang lain.
Benarkah demikian? Ternyata tidak tepat. Jika seorang anak nakal dan menjadi bengal, umumnya dilakukan antara penuh sadar dan tidak sadar. Kesadaran menjadi landasan tindakan karena keingintahuan atau penasaran. Sedangkan yang tidak sadar umumnya gegara lapar. Semakin dewasa, justru motif atas kesadaran itulah yang idealnya semakin dominan. Masa' iye lu tengil gegara blom makan doang? Rasa ingin tahu yang kuat akan mendorong seseorang untuk melakukan eksplorasi berupa ragam perbuatan dan pengalaman. Eksplorasi inilah yang kemudian ketika bersinggungan dengan batas-batas seperti etiket hingga etika kemudian dianggap menganggu kenyamanan orang lain. Tentu saja hal itu masih wajar karena pengalaman apa pun entah baik atau buruk memberi pengertian terhadap nilai yang ada. Bandingkan jika orang itu nggak pernah kemana-mana. Cuma duduk ngejogrok jadi raja kecil di rumah dan minim wawasan. Paling banter juga main ke kampung sebelah. Itu juga beramai-ramai. Tidak ada eksplorasi yang kemudian bisa menjadi pengalaman berharga sehingga apapun yang dilakukan sebatas apa yang didengar dan dituruti saja. Jelas nggak ada enaknya sama sekali.
Dengan kata lain, nakal memang membuat orang jadi pemberontak yang kemudian kritis dan mempertanyakan. Mencari pengalaman hingga di luar batas apa yang dianggap sebagai kenormalan. Menyelesaikan masalah pun ujugnya dengan cara yang tidak biasa pula. Selain itu, ketika beranjak remaja hingga dewasa maka kenakalan adalah cara untuk mewujudkan kebiasaan berpikir kritis. Apapun yang dialami dan memberi pengalaman tentunya menjadi bahan masukan bagi gagasan untuk bisa memilah kemudian mana yang baik untuk dilanjutkan dan mana yang buruk untuk dilakukan. Sebab berpikir kritis atau kegiatan rasional menjadi pincang tanpa pengalaman empiris. Tidak ada bukti faktual yang dapat meyakinkan aktivitas konseptual lebih dari pengalaman personal. Apalagi jika pengalaman tersebut kaya dengan pemecahan masalah, tantangan yang harus diselesaikan dan butuh ekstra kerja keras untuk bisa menjadikannya lebih baik.
Orang yang terbiasa dengan cara demikian akan jauh lebih tangguh dan ulet dalam menghadapi sesuatu daripada mereka yang biasa mengandalkan orang lain, disodorin tetek sejak kecil dalam menyelesaikan persoalan. Contoh semisal seorang anak lupa membawa tugas atau bekal makanan ke sekolah. Jika dihukum guru, maka pengalaman akan memberi pelajaran untuk tidak lupa. Masih sempatkah membuat tugas di sekolah? Bisakah minta sedikit makanan kepada kawan? Jika tidak, bisakah menahan lapar? Atau minta dibayarin di kantin? Itu bagian dari problem solving. Tentunya beda dengan mereka yang kemudian menghbungi orang tua, merengek dan dituruti untuk diambilkan dan diantar tugasnya ke sekolah. Tapi suka atau tidak, sekarang lebih banyak yang begitu.
Kebiasaan untuk melatih pemecahan masalah dengan 'cari masalah' itulah yang kemudian mendewasakan seseorang, terlebih jika dilakukan sejak belia. Masalahnya, banyak orang yang dulu alim-alim aja, nggak suka keributan, selalu ikut aturan, patuh dan tunduk kepada sistem, mendadak jadi nakal dan bengal saat dewasa. Sudah pasti ini sangat terlambat dan beresiko. Pertama, kemampuan membaca dan menyelesaikan masalah tidak sebanding dengan situasi. Apalagi umumnya saat dewasa sudah merasa punya kuasa dan uang yang dianggap bisa menyelesaikan masalah dengan cepat. Padahal nggak semuanya demikian. Kedua, Tidak ada kebiasaan untuk mengambil keputusan di tengah situasi genting yang memaksa harus berpikir kritis dan melihat referensi dari pengalaman sebelumnya yang notabene minim. Begitu masalah muncul, maka yang ada malah terbengong-bengong nggak tau harus apa.
Contoh sepele misalnya urusan dengan lawan jenis. Oleh karena merasa sudah punya kuasa dan uang, maka bergenit-genit seperti jadi hal baru yang kemudian dilakukan tanpa memahami resikonya. Lelaki yang terlambat nakal di usia senja macem begini, adalah orang paling bodoh sedunia. Berasa keren ganteng tapi sebenarnya ditempel gegara hanya karen bisa bayar. Banyak yang tidak sadar jika dirinya sekedar dimanfaatkan. Baru berasa ketika biaya yang dikeluarkan bukan saja soal ekonomi tapi juga sosial. Terkaget-kaget begitu melihat bahwa yang mepet-mepet sejak kemaren-kemaren itu adalah pelaku prostitusi gelap, janda anak tiga sulung semua, istri orang, atau malah bagian dari sindikat kejahatan. Sama juga dengan perempuan yang merasa punya daya pikat, tapi nggak punya pengalaman untuk bisa membedakan lelaki mana yang beneran serius, mana om senang tapi bokek, fakboi atau cuma iseng-iseng berhadiah. Terus mau bilang apa? Padahal udah tarik selimut bareng beberapa malam. Bikin runyam.
"Let them call it mischief; when it is past and prospered, it will be virtue." ~Ben Jonson
Nakal yang terlambat itu jelas membuat banyak orang gigit jari ketika harus menyelesaikan masalah dan menghadapi resikonya. Apalagi semua kenakalan tetaplah sama yakni beranjak dari coba-coba. Sudah pasti tidak akan ada solusi yang bisa ditawarkan secara maksimal dan ujungnya hanya menjadi pengalaman buruk, traumatis dan tidak memberi apa-apa selain kerugian dalam segala bidang. Lantas apa yang membedakan dengan bengal sejak awal? Pertama, adalah jelas ukuran pengalaman sebagai referensi dan pengambilan keputusan. Orang yang sudah pernah dan masih nakal akan berpikir panjang ketika menghadapi atau mencari masalah. Seberapa resiko yang bisa ditanggung dan seberapa hasil yang bisa didapat, akan dicerna baik-baik. Kedua, dengan demikian rasa tanggung jawab yang muncul juga jadi berbeda. Semakin berumur biasanya kemampuan dan keinginan untuk mengambil tanggung jawab terhadap perbuatan juga semakin tinggi. Beda dengan nggak pernah bandel; maunya semua beres dan dituruti tapi nggak pernah bisa ngerti bahwa tindakannya juga punya konsekuensi. Ketiga, dengan kenakalan yang pake otak dan bertanggung jawab, biasanya ragam penyelesaian masalah menjadi sangat bervariasi bahkan mampu berpikir out of the box alias di luar kebiasaan banyak orang. Nakal bisa memberi kontribusi berupa berpikir kreatif. Pengalaman memberi pelajaran dan juga pengetahuan bahwa ketika menghadapi peristiwa yang nyaris serupa, maka sudah tau untuk berbuat apa.
Itulah sebabnya ada pameo, "nakal boleh, tapi bego jangan". Pinter bikin masalah, tapi nggak becus memecahkannya. Pengen kelihatan keren bengal gaya rock n roll, tapi sebenarnya sudah terlambat kalah sama umur. Mau jadi kelihatan menikmati petualangan baru, tapi pantat sakit kelamaan duduk dalam ruang yang serba diatur. Tau-tau jadi gagap bingung nggak tau mesti ngapain ketika masalah yang dibuat sudah menggunung. paling banter ya lari, lari jauh dari kenyataan. Salah sendiri nakal kok telat dan nanggung. Makin delusional? Sudah pasti.