Seringkali orang beranggapan bahwa hal atau perasaan yang negatif itu harus dihindari, bahkan dibuang. Siapa juga yang pengen terus menerus tidak bahagia, sedih, duka lara, murung, perih dan sejenisnya? Sama seperti halnya orang memandang bahwa sikap berdiam diri atau bergeming atau tak bergerak, adalah sama dengan kemalasan yang harus dihindari. Seolah hidup manusia nggak boleh disia-siakan untuk segala sesuatu yang dianggap buruk dan tak menghasilkan apapun.
Pandangan semacam itu jelas keliru, beracun bahkan menyesatkan. Ini bukan persoalan keseimbangan antara baik dengan buruk, aktif atau pasif, hitam atau putih. Ini sebenarnya adalah cara pandang soal bagaimana orang bisa bersikap adil dan terbuka terutama terhadap dirinya sendiri. Ada saat untung senang, adakalanya susah. Kesenangan yang datang harus bisa dinikmati, sama halnya dengan kesusahan. Akan tetapi biasanya orang mengejar senang dan mencoba mengabaikan susah. "Tetaplah positif", "don't worry be happy", "yuk kamu bisa", dan segudang kata-kata mutiara penguat jiwa kerap muncul terlalu sering. Saking seringnya bahkan menjadi bentuk generalisasi yang kelewatan terhadap konsep bahagia itu sendiri. Berlebihan dan dan tidak efektif sehingga alih-alih bahagia, malah sebenarnya orang mendapat toxic positivity yang dianggap sebagai obat mujarab siap telan setiap saat.
Mengapa demikian? Dengan mencoba bahagia berlebihan sebenarnya orang masuk dalam proses penyangkalan dan meminimalisasi proses atau pengalaman emosional yang harus dijalani. Rasa sedih atau kecewa dibutuhkan untuk bisa mengetahi sejauh mana kehilangan yang dirasakan, keterikatan yang dimiliki atau situasi terdalam di mana titik lemah seseorang itu berada. Dengan menjadi kecewa, orang selanjutnya mengukur diri dan mempersiapkan langkah selanjutnya untuk bisa lebih baik sejalan dengan refleksi kejadian sebelumnya. Memaksa diri untuk bahagia ketika masih dalam proses kecewa atau sedih, hanyalah akan menempatkan diri dalam posisi superfisial alias kulit-kulitnya doang. Begitu sedih masih melekat, bahagia hanyalah sekedar hiburan yang harus siap setiap saat. Contohnya seperti patah hati. Biarin aja terluka dan diam terlebih dulu, ketimbang harus mencari kompensasi atau pelarian sana sini. Toh perasaan tidak pernah ada yang benar-benar permanen, tergantung dari persepsi juga kan? Sebab yang benar-benar permanen adalah waktu itu sendiri. Waktu ada dan terus berjalan menghapus semuanya.
Demikian pula dengan upaya untuk mengejar kesibukan alias toxic productivity. Oleh karena nggak merasa ingin ketinggalan, harus kejar target, maka orang bukan saja menjadi sibuk tapi pura-pura sibuk setiap saat. Waktu yang permanen dan terus berjalan itu dianggap tidak kenal ampun. Menjadi tetap produktif adalah kata kunci yang harus dipegang sehingga banyak orang berpikir menjadi tidak punya waktu untuk yang lain, workaholic, dan benar-benar harus memanfaatkan waktu seefisien mungkin. Konsekuensinya adalah orang yang beneran sibuk dianggap jadi contoh yang hebat untuk ditiru bahkan oleh mereka yang masih punya waktu. Kebiasaan semacam ini kemuian menempatkan manusia masuk ke dalam hustle culture; kesibukan menjadi tujuan di mana setiap orang harus bisa benar-benar sibuk setiap hari dengan mengatasnamakan produktivitas.
Fenomena ini menjadi benar-benar serius dan mengundang masalah di era saat ini. Oleh karena harus menjadi sibuk, maka hustle culture dengan mentalitas "go big, and don't go home" digunakan oleh generasi Milenial ke bawah sebagai ekspresi untuk menyukai kerja ber-jam-jam. Ini lazim terjadi di berbagai perusahaan start-up dan digital. Banyak yang terpesona dengan kerja tanpa harus pake seragam, makan dipesenin atau disediain di tempat, ada ruang santai, tapi pekerjaan tetap terus dilakukan bahkan hingga pulang ke rumah. Orang menikmati betul untuk terus digiling (to grind) sebagai diksi yang digunakan sebagai ekspresi produktivitas hingga sampai benar-benar kelelahan (burn out). Kelelahan ini bukan saja terjadi secara fisik, tetapi juga mental. Bangun berangkat mata sembab, pulang tidur banyak pikiran. Mereka yang bekerja di satu tempat juga seringkali memiliki peran, fungsi dan tugas ad hoc alias taktis merangkap sana sini. Bayarannya? ya tetap sama lah. Emangnya nambah kerjaan nambah duit gitu? Itulah sebabnya budaya produktif semacam ini mendorong orang untuk loyal terhadap pekerjaan, bukan terhadap karir. Tidaklah mengherankan jika tetap menjadi produktif juga mendorong orang untuk mencari dan mengambil multiple jobs yang sama di luar. Ini beda dengan jaman sebelumnya; orang bekerja di satu tempat dan tidaklah berpikir untuk mengambil pekerjaan yang sama dan serupa di perusahaan lain. Selain pertimbangan etis, ada juga kerahasiaan perusahaan yg harus dijaga berkaitan dengan produk, sistem dan sebagainya. Sekarang? Karir nggak penting. Lebih penting seberapa yang bisa diraih dengan bersibuk ria.
“Burnout is nature's way of telling you, you've been going through the motions your soul has departed; you're a zombie, a member of the walking dead, a sleepwalker. False optimism is like administrating stimulants to an exhausted nervous system.”~ Sam Keen, Fire in the Belly: On Being a Man
Jadi dapat dilihat bahwa segala toxic atau yang beracun semacam itu bukan lagi perihal berada di sisi gelap, hitam, duka dan sejenisnya. Dengan mencoba untuk selalu bahagia dan selalu giat menghasilkan ternyata menimbulkan toxic comfortability; kenyamanan semu yang harus diraih agar bisa memperlihatkan bahwa bahagia dan produktif itu selalu berguna. Pertanyaan tolol yang muncul, kenapa sih harus berpura-pura sampai beracun gitu? Jawabannya mudah. Sebab di jaman gini apresiasi hanya datang kepada orang yang dilihat sukses. Dengan menjadi sukses melalui ukuran hidup yang bahagia, punya kerjaan, punya kesibukan dan menghasilkan, maka bentuk ideal semacam itu wajib ditiru apapun caranya. Kegagalan, kepedihan dan ketidakberhasilan harus masuk ke bawah karpet kehidupan agar sukses bisa lewat melenggang di atasnya. bayangkan jika hal-hal yang tidak menyenangkan itu tetap ada di permukaan. Apa kata dunia? Maka orang terus menerus untuk tetap menjadi produktif dan tersenyum meski perih. Biar ada yang bisa dipamerin lah gitu. Biar ada yang bisa masuk medsos dan dikasih laik komeng gitu. Bahkan buat mereka yang menghindari toxic cultures semacam di atas, masih saja berpikir bahwa ada pola mimikri yang juga harus dilakukan biar nyaman. Melihat kebahagiaan orang lain berkaitan dengan kehidupan pribadi hingga pekerjaan, bukannya jadi kepengen juga kan?
Itulah sebabnya apa yang disebut dengan otentisitas dan orisinalitas semakin nyaris tidak bisa ditemukan pada masa kini. Semua berbondong-bondong masuk ke dalam bentuk superfisial yang tidak mencerminkan bagaimana seharusnya hidup bisa dijalani dengan lepas, bebas dan bisa sedikit bersantai. Orang menghindar untuk disebut malas dengan menjadi produktif, tapi sebenarnya jatuh kepada kemalasan untuk menguasai dan memberi prioritas terhadap dirinya sendiri. Orang enggan disebut tidak bahagia dan mencoba tersenyum memotivasi diri, tapi sebenarnya bingung dengan perasaannya sendiri. Panik nggak? Panik nggak? Ya iyalah. Masa kagak. Tau-tau dah jadi zombie.