Belakangan ini banyak orang mendadak jadi pemarah, terutama di jalanan dan dengan orang yang tidak dikenal. Misalnya saja gegara memaki dan lempar telur, dua orang terbunuh dalam kecelakaan yang disengaja. Atau mengira mobilnya tergesek, maka tongkat baseball pun keluar. Ada juga yang main tendang begitu order dibatalkan. Pertanyaannya sudah tentu, mengapa kemarahan begitu cepat menyulut? Mengapa dilakukan di jalanan dan dengan orang tidak kenal? Mengapa tindakan yang dilakukan jadi berlebihan?
Hal pertama yang paling terlihat dengan jelas adalah ketidakmampuan untuk mengelola emosi secara pantas. Banyak di antara kita memang mengalami hal itu. Ada pola asuh, didikan keluarga, hingga lingkungan yang membuat tidak dapat memilah dan mengedepankan ekspresi seperti apa ketika terjadi ketidakpuasan, rasa kecewa atau ungkapan yang seharusnya dilakukan. Beberapa yang tumbuh dalam lingkungan yang keras akan menggunakan bentuk verbal seperti kata-kata kasar. Biasanya ini gegara tumbuh dalam pola asuh yang setiap hari melihat dan menyerap makian sebagai solusi. Ada juga yang terbiasa dengan ngedumel di belakang, main tikung atau bersiasat untuk menghabisi. Paling ekstrim adalah dengan melakukan bukan saja kekerasan verbal tapi juga fisik secara langsung.
Kedua, dengan beberapa pola semacam itu yang membuat diri menjadi gagap dalam pengelolaan emosi sehingga menggeneralisasi atau menyamaratakan semua respon yang dilakukan. Siapapun yang dihadapi nggak akan dipilah-pilah, kecuali kalo secara sadar bahwa dia tidak berdaya atau berkuasa dibandingkan orang tersebut. Ketika mendapatkan kesempatan dan mengetahui bahwa dirinya punya kemampuan, maka kekerasan selalu dilakukan sebagai cara untuk penyelesaiakan masalah. Maka dapat dilihat bahwa orang semacam itu sebenarnya adalah orang yang lemah. Terbiasa menghadapi semuanya dengan bentuk verbal atau fisik yang tidak pantas, atau sebaliknya milih kabur diem nggak berani berhadapan.
Lantas apa yang sebenarnya harus dilakukan? Harus ada kesadaran yang dibangun bawah setiap masalah membutuhkan respon atau tanggapan yang berbeda-beda. Ada yang besar, ada yang kecil. Ada yang harus segera diselesaikan, ada yang nanti. Ada yang perlu dihadapi dengan kata-kata halus, ada juga yang tegas. Solusi dengan fisik selalu menjadi destruktif dan sering tidak berguna, kecuali pada ruang, waktu dan orang yang tepat untuk menghindari resiko hukum. Bayangkan jika main kasar dalam segala kesempatan, sudah pasti malah harus bersiap masuk sel.
Kemudian, dengan adanya pemilahan masalah maka menjadi sangat penting untuk mengelola reaksi. Marah itu perlu dilakukan, tapi bagaimana bisa disalurkan dengan proporsional agar mendapat aksi yang diharapkan itu penting. Misalnya marah dengan pelayan atau waiter gegara makanan yang disajikan tidak sesuai dengan keinginan atau menu yang disediakan. Memaki bahkan mengancam secara fisik tidak menyelesaikan masalah. Lebih baik panggil manajer, sertakan bukti dan minta solusi. Jika tidak memuaskan, eskalasi terus hingga ke atas. Jika tak ada tanggapan, baru melibatkan media sebagai sarana terakhir. Ini belom apa-apa sudah upload duluan. Kan konyol.
“The truth will set you free, but first it will piss you off.” ~Joe Klaas, Twelve Steps to Happiness
Pengetahuan semacam itu menjadi penting untuk mulai membangun kebiasaan yang tepat dalam bereaksi terhadap apapun. Toh tidak semua juga harus diberi reaksi. Selain menguras pikiran dan energi, level kepentingan dan nilai strategis juga harus dipertimbangkan. Kalo mau marah, ya marahlah kepada orang yang tepat, cara yang tepat, ruang yang sesuai dan waktu yang tersedia untuk mendapatkan tindakan yang tepat pula. Menahan marah memang menyakitkan. Cuma orang blo'on aja yang biasa ngedumel di belakang. Oleh karena itu mengeluarkan amarah juga perlu dengan cara-cara yang proporsional dan menghasilkan sebagau ekspresi ketidakpuasan, kecewa dan komunikasi yang timbal balik. Nggak perlu main pukul, nggak perlu juga ngebacot di belakang. Apalagi, banyak orang yang tidak menyangka bahwa strategi terbaik ketika terjadi konflik adalah langsung menemui yang bersangkutan. Mengapa? Biasanya orang berpikir bahwa kalo marahan nggak akan mau atau berani ketemu. Mereka tidak siap dan tau harus bertindak apa jika ditemui.
Tapi pilih-pilih juga sih. Kalo cuma sekelas emperan jalan, ngapain juga diseriusin?