Dalam memiliki relasi dengan siapapun, entah personal atau profesional biasanya akan bertemu dengan orang yang dominan. Pengertian dominasi di sini adalah kepribadian yang diwujudkan dalam bentuk perilaku seperti proaktif, asertif dan juga ekstrovert. Bahkan kadang-kadang disertai juga dengan persuasi, agresi dan manipulasi. Singkatnya, sosok yang dominan adalah orang yang tau apa yang ia inginkan dan tau bagaimana cara untuk mendapatkan. Mereka tidak akan sungkan untuk mempengaruhi dan memimpin yang lain baik untuk kepentingan pribadi maupun bersama. Persona semacam itu bisa jadi akan terlihat jauh lebih besar dan mampu mengintimidasi yang lain. Semakin kuat persona, maka intimidasi yang terjadi juga semakin berbeda. Sosok semacam itu nggak perlu ngomong banyak. Kehadirannya saja sudah membuat orang keringet dingin atau enggan untuk bertatap mata. Dalam hirarki yang bersifat struktural, dominasi bisa dilakukan oleh strata yang lebih tinggi. Jadi jangan kaget kalo ketemu atasan bawaannya bisa sungkan atau malah takut. Tapi ini berlaku juga dalam habitat yang non struktural. Ada orang yang pembawaannya bisa intimidatif tanpa disadari, seperti mulai dari penampilan, bau yang berbeda, gesture, gaya bicara. hingga tatapan mata.
Dominasi jelas menjadi faktor yang diperhitungkan terlebih jika ada unsur kuasa di sitiu. orang yang berorientasi kepada kekuasaan atau kepemimpinan seperti politisi atau bentuk hirarki di dalam organisasi lainnya akan sangat membutuhkan kemampuan untuk mendominasi banyak orang. Itu wajar. Jika ada persona yang kuat, mengapa tidak? Sebab dominasi yang paling otentik adalah berasal dari aspek intrinsik kepribadian yang sudah terbentuk sekian lama. Dominasi paling rendah adalah kesan yang muncul karena aspek ektrinsik berupa atribut seperti apa yang digunakan dan dimiliki. Maka dalam menilai sebuah bentuk dominasi, haruslah paham bahwa apakah yang tampil adalah sosok dominan beneran atau abal-abal? Sebab di jaman begini banyak orang yang berusaha dominan, tapi nggak punya modal intrinsik berupa persona dan mengandalkan modal ekstrinsik seperti uang atau kekayaan. Tapi paling sial ya cuma modal ngebacot kosong haha hihi dan ternyata gembel pula.
Nah, model seperti itulah yang sebenarnya paling merasa terancam ketika berhadapan dengan sosok yang dominan; berusaha membangun pola komunikasi yang setara tapi nggak ada isinya. jadi jangan heran tipikal semacam itu gampang ditemui seperti di dalam komunitas atau ruang publik. Ngomong keras-keras soal proyekan receh di ponsel sambil nyebut koneksi pak direktu anu jendral itu supaya didengar oleh orang lain. Lucu? Sudah pasti. membangun impresi di dalam ruang yang keliru dengan audience yang keliru pula. Dengan demikian, peribahasa seperti "tong kosong berbunyi nyaring" ada benarnya. Demikian pula dengan mereka yang selama ini di dalam melaklukan relasi hanya mengandalkan omdo alias omong doang. Sudah pasti merasa terancam karena ketika berhadapan dengan figur yang dominan akan selalu di-challenge; bener nggak itu ngemeng bisa sejalan dengan eksekusi? Bisa nggak segala konsep diwujudkan dalam tindakan? Mau sama-sama pede tapi nggak ada isinya. Tentus aja ini menyedihkan. Sama seperti orang bicara meraih kesuksesan tapi urusan perut dan dibawah perutnya aja blom beres. Persis seperti orang bermimpi berhasil, tapi masih tertidur pulas tidak mengejarnya.
Mereka yang terancam seperti itu bisa saja berupa anak buah yang berpikir asal bapak atau ibu senang; pokoknya nurut manut aja tanpa banyak bertanya dan sebisa mungkin menjilat supaya tidak menjadi sasaran persuasi, agresi bahkan intimidasi. Kepengecutan semacam ini berdampak buruk bukan saja kepada proses kinerja di dalam hirarki tetapi juga menyulitkan orang lain di dalam strata yang sama bahkan dibawahnya. Enggan berhadapan langsung dan sudah jelas tidak mau disalahkan. Selain itu, rasa terancam juga dialami oleh orang-orang yang tanpa modal. Mereka akan sekuat tenaga untuk bisa mengimbangi bahkan mencoba balik mendominasi melalui hal-hal nggak penting. Persis segerombolan kucing belajar mengaum di belakang singa. Ujungnya yang eang eong juga nggak kedengeran kan? Dilirik juga kagak.
"The strongest and most effective force in guaranteeing the long-term maintenance of power is not violence in all the forms deployed by the dominant to control the dominated, but consent in all the forms in which the dominated acquiesce in their own domination." ~Robert Frost
Lantas, bagaimana sebenarnya cara yang efektif menghadapi sosok yang dominan? Sebab sudah jelas orang semacam itu punya dedikasi terhadap kerja keras, kepemimpinan yang kuar, kontrol diri serta bahasa tubuh yang pede. Pertama, sudah jelas adalah memilih gaya komunikasi yang lugas dan jelas. Nggak usah pake basa-basi, nganu ngono, kalimat bersayap, atau ada cerita lain yang disembunyikan. Pola asal bapak ibu senang yang demen menjilat itu nggak bakalan masuk. Selain itu, pembicaraan yang dilakuakn tetap berfokus kepada fakta dan hasil yang ingin didapat. Kedua, menerima sosok dominan seperti apa adanya. Jadi nggak perlu baperan seolah ia hanya menargetkan dirimu. Apapun yang tampil dari dirinya adalah berlaku umum. Kalo ia terbiasa nggak pake basa basi, to the point ya emang begitu. Maka nggak perlu juga disambut dengan basa basi kan? Ketiga, berhadapan dengan figur yang dominan menjadi tantangan untuk selalu satu langkah didepannya. Ini berarti harus ada pengembangan kemampuan secara terus menerus baik wawasan hingga keahlian. Nggak heran kalo pada menghindar, sebab takut ditanya. Itu sih geblek aja. Terakhir, harus berani dong menetapkan garis batas kenyamanan. Artinya belum tentu semua interaksi bisa bernilai positif. Itulah sebabnya berani berkata tidak adalah kemampuan yang harus dimiliki setiap orang terutama saat menghadapi figur yang dominan. Bisa jadi sosok itu akan upset tapi tentu bisa menerima, ketimbang situ hanya bilang hiya ho oh tapi nggak dikerjain juga kan? Menghadapi singa tidak perlu menjadi singa. Jadilah pawang yang benar. Masa' tetep jadi kucing yang bisanya cuma ngejilat? Payah.