Dengan semakin besarnya tuntutan jaman pasca pandemi dan gelombang krisis yang tiada henti susul menyusul, rentang usia produktif yang berpotensi stress antara 15 hingga 65 tahun semakin meluas dan mendalam. Katakanlah dibawah usia 20 dan di atas 55 memang idealnya masih menikmati masa-masa keemasan bebas dari kecemasan, tapi nyatanya tidak demikian. Ada kegalauan tersendiri di usia belia terhadap masa depan yang tidak pasti, ada kekalutan tersendiri di usia senja terhadap saat istirahat yang tak kunjung datang. Selain beban menjadi generasi roti lapis, tuntutan jaman macam demikian juga membuat orang berpikir; kapan sih bisa secara normal menikmati hasil dari proses yang tak kunjung usai? Atau buat yang termuda, kapan sih bisa memulai tanpa tekanan?
Jawabannya jelas tidak. Jangankan mereka yang belum masuk gelanggang atau sudah kelamaan bertempur, orang-orang yang di dalam rentang usia produktif saja masih puyeng berkutat dan mau tidak mau harus bergesekan satu sama lain. Lihat saja mereka pada rentang usia 25 tahun, 35 tahun dan 45 tahun ke atas. Usia 25 tahun identik dengan generasi Z. Usia 35 tahun tergolong kepada generasi Y, sedangkan 45 tahun masuk kepada generasi X. Pembagian semacam itu jelas bersifat kasar saja dan subyektif. Sebab gen Z bisa jadi lebih muda hingga belasan tahun yang disebut iGen. Generasi Y yang berusia 35 dan dibawahnya sedikit adalah milenial tua. Generasi X usia 45 tahun tergolong muda karena usia produktif generasi ini masih berada pada 55 tahun.
Terlepas dari itu, karakteristik umum biasanya akan cepat terlihat. Gen Z seringkali dilihat sebagai generasi yang gelisah menjelang usia paruh 25an. Makanya ada istilah quarter life crisis. Meski pilihan-pilihan hidup yang dihadapi jauh lebih bervariatif dibandingkan sebelumnya, tapi tetap saja kebingungan. Generasi ini punya stereotype sebagai orang yang selalu banyak coba-coba, fokus pada dirinya sendiri, nggak tahan banting, nggak loyal, baperan (seperti penyanyi fals nggak bisa nada tinggi tapi nggak kapok tampil meski ngambekan kalo dikritik itu), bahkan dianggap manja. Makanya disebut generasi stroberi; cakep di luar, gampang remuk kalo dipencet. Tapi jangan keliru. Gaya demikian juga merupakan didikan orangtuanya yang nggak mau mereka susah. Padahal dengan cara demikian, justru orang tua yang rerata gen X itu malah menjerumuskan anak-anaknya ke dalam dependensi atau ketergantungan abadi.
Genrasi yang lebih tua yakni gen Y atau proto-milenial kini dianggap lebih realistis dibandingkan adik-adiknya. generasi ini menjadi penghubung komunikasi antara generasi yang lebih muda itu dengan yang lebih tua. Ini berlaku tidak saja di dalam sebuah keluarga besar, tetapi juga dalam relasi profesional. Gen Y saat ini rerata sudah mau atau telah menikah, punya anak balita, sudah berasa ajeg untuk kerja di satu tempat. Alasannya bukan karena betah atau demen, tapi ya realistis. Harus ada pemasukan rutin, bayar tagihan, pengeluaran dan cicilan. Ini beda dengan gen Z yang masih galau pindah sana sini karena masih ada dukungan orang tua atau belum ada tanggungan. Mimpi-mimpi basah gen Y lama kelamaan pupus juga. Tidak semua bisa diraih dan kegalauan itu bukan hilang, tapi berpindah ke dalam ruang yang lebih nyata. Omong soal karir, pendapatan, beban keluarga jelas lebih nyata ketimbang ekspektasi yang cuma bertumpu kepada harapan pribadi. Roti lapisnya sudah mula terlihat dengan jelas kan?
Gen X di jaman ini sebenarnya adalah yang paling menderita. Di satu sisi idealnya sudah menikmati hasil kerja keras selama ini, tapi gegara pandemi dan krisis masih harus tetap berupaya bahkan beberapa mulai dari nol. Istilahnya di-reset sampai habis akibat hilangnya sumber-sumber pendapatan primer. Padahal antrian ke belakang bertambah panjang. Masih ada Gen Y yang mulai resah karena masih ada di tengah dan ngarep bisa menggantikan para X-ers ini untuk bisa berada di puncak. Belum lagi Z yang ngintil di belakang. padahal X kerap identik dengan loyal (atau nggak punya banyak pilihan?), berdedikasi, tanggung jawab dan penjaga moral meski dulunya bejad juga. Di sisi lain, fungsi dan tanggungjawabnya masih tetap ada entah sebagai kepala keluarga, top level management, pejabat pemerintah dan tataran ideal lain yang kebanyakan masih bergaya lama alias jadul. Banyak yang gagap teknologi padahal itu menjadi sebuah gaya yang lumrah diadopsi oleh generasi dibawahnya yang digital natives. Kalo nggak bisa beradaptasi, ya ketendang juga kan?
“Everyone is dispensable but some are more dispensable than others.” ~ Miles Anthony Smith, Becoming Generation Flux: Why Traditional Career Planning is Dead: How to be Agile, Adapt to Ambiguity, and Develop Resilience
Jadi barisan tiga anak negeri yakni X, Y dan Z itu berhimpitan berjejal untuk sama-sama memikirkan jalan hidupnya. Itu pun buat mereka yang masih tetap pintar-pintar membaca jaman. Ada upaya yang tetap harus dilakukan ketimbang cuma ngejogrok atau berbaring menatap langit-langit menjelang pagi, sebagai konsekuensi hidup yang dijalani terlalu pede atau santai nggak ngapa-ngapain. Sebab siapapun yang berada di puncak, akan terjungkal pula pada waktunya bukan karena tidak punya daya untuk bertahan. Usia dan kesanggupan fisik pasti akan diperhitungkan. Demikian pula yang berada di paling bawah juga tidak bisa hanya sekedar runtang-runtung muter di tempat dan minta diperhatikan. Sebab akan selalu ada generasi terbaru dengan karakteristik yang berbeda muncul menggantikan posisinya. Berat? Pasti.