Perubahan nilai yang cukup penting dalam tatanan masyarakat modern adalah orang menjadi semakin memegang erat budaya instan, materialistik dan konsumtif. Budaya instan berarti manusia semakin peduli dengan hasil dan mengabaikan proses. Sebuah proses dianggap tidak penting karena buang waktu, membuat pola, berlama-lama dan belum tentu hasilnya sepadan. Terlebih jika sudah memasuki usia paruh baya, maka proses dianggap cuma sekedar basa-basi. Maka tidak heran dalam urusan apapun orang menjadi kutu loncat yang cepat membaca peluang tetapi tidak menghitung seberapa proses yang berbeda dan bahkan harus dikorbankan. Misalnya saja, tergiur iming-iming pindah kerja dengan gaji lebih satu atau dua juta. Itu bisa dihitung kan? Akan tetapi tempat kerja yang baru sangat menyedot energi mulai dari kemacetan hingga konflik. Akhirnya tak sepadan juga. Berpindah lagi dan begitu terus. Sama seperti tawaran proyek yang dianggap lebih besar uang yang dihasilkan, tapi ternyata tidak diperoleh dan apa yang sudah ada dibuang begitu saja. Maka proses semakin dikecam. Buang waktu dan tenaga. Padahal mulainya saja sudah keliru.
Materialisme dalam arti orang semakin butuh apresiasi yang bisa diukur dan dihitung. Pujian basa basi sebagai bentuk compliment mana cukup. Harus ada duitnya. Naik kelas saja ada imig-iming, apalagi relasi yang lebih serius dan dianggap profesional. Maka ukuran-ukuran pencapaian haruslah berbentuk penghargaan yang bisa berfungsi dan digunakan. Apa-apa duit. Itulah sebabnya tidak ada lagi relasi yang cuma mengandalkan kebesaran hati, pengorbanan, atau kerelaan yang dianggap semakin jadul. Kalo nggak ada reward-nya, buat apa dikerjain? Orang jadi berpacu untuk benar-benar mengejar sesuatu bukan lagi sekedar keinginan berprestasi, tetapi ada udang dibalik bakwan. Sebab apapun yang bisa diukur dan dihitung itu akan sangat berpengaruh terhadap pola konsumsi. Jadi tidak mengherankan jika dengan cara yang instan dan butuh duit cepat, pola konsumsi juga semakin berubah. Manusia jadi berlomba untuk memberi kesan atau impresi bagus terhadap orang lain meski harus ngutang, nambahin dengan pinjaman, dan lainnya. Padahal orang lain itu juga belum tentu dikenal. Semakin anonim maka unsur kejutan dan wow factor juga makin gede.
Tapi apa nggak capek? Melelahkan dan bikin stress memang. maka manusia modern jauh lebih rentan terhadap berbagai jenis penyakit fisik dan juga psikis. Kepala pusing mikirin gimana cara yang paling mudah dan cepat untuk menjadi kaya. Hidup tidak lagi bisa apa adanya, sebab dengan tidak apa adanya maka segala sesuatu tinggal tunjuk untuk memiliki. Pikirnya begitu. Mengapa? Sebab orang lain dilihat juga demikian. Padahal ukuran kesuksesan itu sangat relatif dan subyektif buat siapapun. Jangan sirik lihat rumput tetangga lebih hijau. Siapa tau rumput sintetis atau kalo pun asli, biaya perawatannya juga mahal. Maka menjadi tidak bahagia itu mudah. Tinggal mencoba instan, materialistik dan konsumtif. Ditambah pula dengerin apa kata orang lain. Dijamin tidak bahagia. Pasti.