Pernah lihat orang yang begitu korosif sampai kemudian menjelek-jelekkan yang lain secara brutal? Membunuh karakter sampai seolah tak bersisa? Tenang dan jangan kaget, itu hal yang biasa di dalam rimba pergaulan sosial. Ada banyak orang yang semacam itu dengan beragam alasan, tapi yang terutama adalah karena merasa insecure alias minder. Sebenarnya insecurity nggak cukup diterjemahkan dengan rendah diri. Sebab umumnya orang membayangkan bahwa minder itu adalah diem di pojokan, nangis sesenggukan meratapi nasib, atau kemudian tidak melakukan apa-apa.
Itu asumsi yang jauh dari kenyataan. Orang insecure bisa berbuat apa saja untuk menutupi perasaan ketidakamanan dan ketidaknyamanannya terhadap segala hal. Apa yang terjadi di depan matanya, justru menjadi bahan bakar untuk mulai bersifat agresif hingga insinuatif. Pertama, orang seperti itu akan sibuk membangun reputasi dirinya dengan kalau perlu menghancurkan orang lain. Terang-terangan? Nggak juga. Mana sanggup berkompetisi. Ada juga nyinyir dari pinggiran. Jelas itu adalah keliru besar, sebab reputasi nggak pernah bisa dibangun. Reputasi itu datang sendiri dan merupakan persepsi sekian banyak orang dari berbagai sumber informasi yang tidak sama. Reputasi bisa baik atau jelek tergantung sumber-sumber yang didapat. Namanya juga persepsi. Sejauh mana orang yang insecure itu bisa mengontrol sumber dan membangun reputasi negatif terhadap yang lain? Pasti melelahkan. Bagaimana tidak, mengurus diri sendiri aja sulit gimana ngurus orang lain.
Kedua, insecurity biasanya membuat target dengan menyalahkan situasi atau orang lain. Paling mudah menaruh kegagalan hidup dengan cerita gegara dijegal, dijebak, ada yang nggak suka, pada sirik, dan sebagainya. Sebaliknya, lebih mudah juga untuk membuat diri tidak bertanggung jawab terhadap semua kegagalan yang terjadi. Orang yang insecure, paling demen melihat yang lain sudah maju ngebut jauh sedangkan dirinya protes kenapa ditinggal. Pada sentimen sama gua? Nah. Satu hal yang terlupakan adalah seburuk apapun ekspresi yang mereka keluarkan sebagai sentimen negatif terhadap orang lain, adalah bukan karakter yang dituju. Semakin buruk, itu menggambarkan ekspresi tentang diri mereka sendiri. Misalnya situ dijelek-jelekkan orang. Emang beneran jelek? Itu nggak penting. Justru yang menjelek-jelekan itu insecure karena kalah jelek.
Ketiga, makin terlihat bahwa masalah yang muncul adalah bukan pada orang lain, melainkan mereka yang merasa insecure dan membuat orang lain harus merasakan hal yang sama. Itulah toxic relationship yang terjadi. Bisa sama teman, pasangan, keluarga, profesi dan dimana saja secara sosial berkaitan. Semakin keras bersuara mencaci, semakin menunjukkan bahwa mereka butuh perhatian, ingin dibandingkan, pengen didengar atau bahkan menganggap orang lain yang dijadikan target adalah penting untuk dibahas. Sepenting itukah? Toh tanpa sadar para penista itu menghabiskan energinya hanya untuk hal-hal nggak penting. Lantas, gimana mau ngurus yang penting? Ya nggak bakal kepikir.
“Insecure people only eclipse your sun because they’re jealous of your daylight and tired of their dark, starless nights.” ~ Shannon L. Alder
Jadi, jawabannya sudah jelas. Cuekin aja. Anggap kayak kentut. Cuma bunyi kencang, bau, tapi nggak ada wujudnya. Harus balik belagu gitu? Nggak perlu. Itu bedanya sombong dengan pede. Sombong merasa perlu membuktikan (prove) diri, persis orang yang insecure. Pede justru fokus menaikkan level (improve) sama diri sendiri. Mereka yang nggak nyaman sebenarnya sadar bahwa nggak akan bisa menandingi, bahkan cuma sekedar mengimbangi. Orang yang berhadapan dengan perilaku penuh insecurity semacam ini lebih baik menjauh. Ngapain juga dekat-dekat? Udah bisik banyak mulut tapi nggak menghasilkan apa-apa. Malah kalo ada kegagalan, cari orang lain buat jadi sasaran. Bisa jadi ada kecenderungan sosiopatik, ya nggak ada yang tau juga. Jelasnya persis pepatah, tong kosong nyaring bunyinya. Kenyang kagak, budeg doang kalo dekat-dekat. Capek ntar.