Semua orang tentunya tau bahwa menjadi dewasa bukan semata perkara usia. Manusia boleh saja menua hingga kisut sebagai sebuah proses alami yang tidak dapat dihindari. Itu sudah pasti. Dalam hal itu, tua adalah sebuah kepastian. Akan tetapi tidak semua orang tua bisa menjadi dewasa. Sebab dewasa adalah sebuah pilihan; proses yang diambil sejak dini dan menjadi sebuah pembuktian terhadap nilai, kakter dan kepribadian yang dimiliki. Lantas apakah dewasa berarti punya kharisma, kesuksesan atau keberhasilan tertentu? Jawabnya, bukan. Segala kelimpahan itu cuma bonus dan hasil akhir yang cuma sejumput dibandingkan proses panjang yang dipilih. Orang menjadi kaya, terkenal, banyak teman, populer, diakui secara personal atau profesional bukan datang dalam sekejap. Lagipula itu adalah dampak, bukan tujuan. Tujuan menjadi dewasa adalah mematangkan jiwa sehingga setiap keputusan yang diambil entah baik atau buruk, bisa diterima sekaligus resiko dan tanggungjawabnya.
Maka menjadi dewasa juga nggak gampang. Sebab dengan memilih, berarti juga memilah mana yang kemudian bisa memberi benefit secara imbal balik dan menghindari mana yang kemudian tidak menghasilkan bahkan merugikan diri. Untung rugi dalam hal ini pun juga bukan soal materi, melainkan buah atau resiko terhadap perkembangan pikir dan mental. Oleh karena itu syarat pertama untuk bisa menjadi dewasa adalah nggak baperan atau reaktif berprasangka terhadap kejadian apapun. Contoh saja sedang berkendara di jalan, tetiba diklakson atau dikasih lampu berulang kali dari belakang. Ngapain juga harus terpancing? Bisa jadi masalah yang ada bukan pada dirimu, melainkan pada dirinya. Atau janjian tapi nggak kunjung datang. Coba cek dulu siapa tau yang bersangkutan ada kendala lain, jadi jangan kemudian mutung ngomel berasa disepelekan. Lebih parah lagi pas lihat media sosial, merasa mangkel dijadikan bahan ghibah atau emosi lihat status orang kayak membicarakan dirimu. Kalo pun iya, masalah ada di orang tersebut kan? Baper hanyalah reaksi kekanakan yang tidak sebanding efeknya dengan masalah yang tidak seperlunya ada.
Syarat kedua adalah pegang omongan. Ini gampang-gampang susah buat sebagian orang karena banyak yang berjanji bukan untuk ditepati, melainkan untuk sekedar ngemeng. Biar kelihatan ada kerjaan gitu lho. Biar mau dilihat punya kesibukan. Padahal orang yang berlagak kerja atau pura-pura punya kesibukan ternyata masih berpusing soal eksistensial yakni pengakuan personal. kalo ditanya, malah bilang nggak ada waktu. Itu semua omong kosong, karena sesungguhnya janji adalah soal prioritas, bukan soal waktu. Jadi berjanji kerap digunakan sebagai hiburan kosong. Interaksi maksimal dengan hasil minimal. Pengen kelihatan high profile, tapi kalo ujungnya low income ya sama aja bo'ong. Pengangguran terselubung jadinya. Beda sama high profile high income macem artis, atau low profile low income seperti tukang sapu jalan. Keduanya jauh lebih menjanjikan.
Syarat ketiga adalah punya tanggung jawab. Itu mengandaikan ada kewajiban moral untuk menuntaskan segala hal seperti pekerjaan, menepati omongan, bahkan hal terkecil untuk mengabaikan hal yang tidak penting untuk ditampilkan, tapi bisa diselesaikan dengan cepat. Kalo sudah sentitit baperan dan mudah berbusa soal ini itu, maka sudah dipastikan minim soal tanggung jawab. Kok bisa? Sebab refleksi terbalik dari soal tanggung jawab adalah ego yang harus disuapi terus menerus. Merasa paling bisa, paling benar, paling iyes oke, paling-palingan tapi mengabaikan orang lain. Sibuk berputar mencari jati diri yang tak kujung usai hingga keriput mendatangi.
"Maturity is reached the day we don’t need to be lied to about anything." ~Frank Yerby.
Maka dewasa menjadi sebuah kemewahan ketika ketiga hal tersebut tidak pernah hinggap di dalam pikiran seseorang. Wajarlah kalo masih muda, wajarlah. Studi memperlihatkan bahwa usia kematangan berpikir seseorang itu belum sepenuhnya terbentuk hingga usia 25 tahun. Itu pun dengan pra kondisi berupa pendidikan, dukungan sosial dan proses perkembangan mental berlangsung utuh. Bayangkan jika itu tidak pernah dimiliki seseorang hingga menjelang paruh baya. Alasan bisa macam-macam mulai dari inkonsistensi tindakan hingga tidak mampu memilih secara tepat. Saat menua pun bisa jadi masih harus terpaksa berkompetisi dengan yang lebih muda dengan cara yang masih saja sama. Oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak orang yang secara fisik dan usia sudah mulai uzur, tapi mentalnya masih kekanak-kanakan. Dibilang profesional bukan, disebut amatir kok ya udah lewat masanya. Disebut bisa mikir, tapi dikit-dikit tersinggung. Gimana nggak puyeng tuh?