Menjadi tumbuh berkembang secara fisik adalah hal yang alamiah bagi setiap orang. Mulai dari bayi hingga uzur adalah proses yang sangat umum. Akan tetapi perkembangan fisik semacam itu belum tentu juga diikuti oleh perkembangan kognitif yang memadai, apalagi perkembangan mental. Orang butuh pendidikan baik formal, nonformal bahkan informal agar pengetahuannya bisa meluas dan mendalam. Maka sekolah dan model pendidikan lainnya seperti lingkungan dan rumah, menjadi penting supaya akal bisa berkembang dan berdaya guna secara sehat bagi pemiliknya. Lantas bagaimana dengan mental itu sendiri? Gampang-gampang susah. Sebab selain bergantung kepada situasi habitat atau ekosistem lingkungan dimana ia tinggal, juga merupakan dampak dari kondisi bagaimana ia menerima atau menolak sebagai sebuah persepsi sosial terhadap orang lain.
Jadi tidaklah mengherankan jika persoalan mental kerap kali menjadi batu sandungan seseorang meski ia mengklaim diri cerdas atau punya wawasan. Semakin tumbuh seseorang secara fisik atau disebut usia, maka tidak serta merta berbanding lurus dengan kapasitas kognitif atau pengetahuan dan juga mental yang ada. Orang bilang, ada yang namanya intelligent quotient dan emotional quotient. Istilahnya, IQ dan EQ. Keduanya sebagai paramater perkembangan kognitif dan emosi. Ada juga spiritual quotient, tapi yang ini masih perlu kejelasan lebih dalam sebab indikator dan parameternya sulit untuk dilakukan ketimbang dua bentuk yang sebelumnya. Malah SQ itu kerap jadi legitimasi tentang nilai yang superfisial, sementara IQ dan EQ jadi cenderung diabaikan.
Terlepas dari parameter semacam itu, ada harapan bahwa semakin tumbuh menua seseorang, idealnya ada kedewasaan dalam soal berpikir, berpengetahuan sekaligus kemampuan mengelola emosi. Ini tidak mudah. Tumbuh menjadi tua adalah absolut alias mutlak, tapi menjadi dewasa adalah sangat relatif. Ada orang yang kedewasaannya bisa melampaui umurnya; bisa tenang dalam situasi tertekan, dapat mengelola kemarahan, atau berlaku dingin ketika menghadapi konflik. Ada pula yang sangat fluktuatif tergantung suasana hati. Kadang bisa sangat tajam berpikir, tapi suka pula mendadak emosional. Ada juga yang malah kemudian buta situasi gegara marah diredam atau diampiaskan.
Akan tetapi yang terburuk adalah ketika seseorang bisa out of control justru karena masalah yang dihadapi sekalipun tidak berkaitan langsung dengan dirinya. Artinya, urusan orang lain bisa membuatnya jadi lepas kendali. Kok bisa? Ya bisalah. Sebab kapasitas pengendalian dirinya benar-benar minim. Alasannya bisa banyak hal; entah karena trauma yang disimpan, lingkungan yang penuh tekanan, didikan keluarga yang terlalu keras, luka batin, konflik kepentingan, dan sebagainya. Prasangka selalu berada di depan. Dikit-dikit parno bahwa orang lain akan menghalangi, menjegal bahkan menghancurkan dirinya. Jika sedari awal sudah tumbuh besar dengan cara demikian, maka buatnya akan semakin sulit untuk bisa bersosialisasi dan memiliki relasi secara baik dengan orang lain.
Memang alasan setiap orang berbeda-beda, namun salah satu cara efektif untuk bisa melihat apakah seseorang mampu memiliki manajemen emosi dan konflik yang bagus adalah ketika melihatnya berada dalam posisi kerja bersama orang lain. Itulah sebabnya penempatan diri dalam relasi profesional adalah cara efektif untuk mengukur sekaligus memiliki peluang untuk memperbaiki diri. Orang yang tidak pernah bekerja di bawah tekanan, di bawah orang lain atau kemudian membawahi orang lain secara profesional, akan kesulitan untuk mengelola emosi dan kemarahan sebab tidak terbiasa mencari solusi. Dewasa adalah penyelesaian masalah dengan komitmen untuk bisa lebih baik, bukan mengandalkan sekedar perasaan suka atau tidak suka. Makanya kerja profesional nggak bisa cuma pake like or dislike. Bagi mereka yang kesulitan mengelola emosi, konflik adalah pelampiasan, bukan mekanisme yang bisa digunakan untuk memperbaiki sesuatu. Konflik adalah ekspresi perasaan, bukan metode dialog yang dibutuhkan untuk sebuah penyelesaian. Semakin berkonflik, ada kepuasan tersendiri untuk secara subyektif melampiaskan amarah, ketimbang mencari solusi terhadap persoalan yang sebenarnya.
"Maturity is when you live your life by your commitments, not by your feelings." ~Rick Warren.
Jadi jika seseorang berpindah-pindah kerja tanpa jelas juntrungannya dan selalu menimbulkan konflik di mana saja, sudah pasti ada problem mental yang cukup korosif bagi dirinya dan orang lain. Identifikasi terhadap kepribadian yang bersifat karatan semacam itu jadi penting. Sebab bisa saja tanpa ada angin atau apa ketika berada didekatnya bisa kena tulah; tau-tau dimusuhi atau malah dijadikan sasaran oleh para conflict seekers. Mereka bisa saja ngomong bahwa butuh konflik untuk bisa ada dinamika, perubahan atau kemajuan tapi ternyata tidak untuk dirinya. Begitu dihadapkan pada konflik, orang baperan semacam itu mendadak balik punggung, enggan bertegur sapa, memusuhi atau bahkan berusaha menghilangkan kontak yang ada. Itu saja dilakukan sama orang yang dikenal dan berhubungan langsung. Apalagi terhadap mereka yang tidak ada sangkut paut atau nggak kenal sekalipun. Hebat kan?
Maka menjadi dewasa itu adalah barang mahal. Tidak semua orang bisa memilikinya meski bertambah uzur, bapuk, tua, koplak, kisut dan pikun. Semakin menua, mereka akan semakin mengeras dan jadi kayak anak kecil. Berkaca pada hal itu, sudah selayaknya introspeksi diri menjadi penting agar contoh yang buruk tidak perlu diikuti. Iya kan? Dah, jangan baper gitu dong.