Sedari dulu, orang sudah kenal dengan adagium berupa kalimat "monet can't buy happiness" atau uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Kalo mau ditelisik lebih jauh, sebenarnya itu ucapan orang setress. Mereka yang sok ngepilsup dan tinggal di dalam gua, nggak paham bahwa bagaimana uang selalu punya relasi, cara dan tindakan manusia untuk mengejar apapun termasuk cari duit. Jadi bisa dipastiken bahwa kalo agak koslet mikirnya, akan selalu mencoba menjauhi materi termasuk uang. Padahal diem-diem butuh juga. Oleh karena nggak mampu mencari, maka adagium itu digunakan secara berlebihan. Memberi pembenaran bahwa duit nggak bisa beli kebahagiaan, nggak bisa bikin bahagia, bahkan jadi sumber masalah.
Emangnya bener begitu? Tergantung. Itu jawaban yang pasti. Punya uang bisa bikin bahagia, tergantung dari bagaimana cara mencari dan menghabiskannya. Banyak yang mencari dengan alakadar, instan, temporer, atau cuma punya hasrat minimal. Ya sudah pasti perolehannya juga minimal. Apapalagi kalo dengan cara ilegal ya sudah pasti bakal deg-degan mikir risiko segala macem. Demikian juga dengan bagaimana menghabiskan uang. Mereka yang nggak pernah terbiasa atau pake perhitungan sudah pasti akan jadi boros, beli barang yang dimau tapi nggak guna, membuangnya secara sia-sia, tidak berinvestasi, atau bahkan lebih besar pasak daripada tiang; dapetnya lima ngabisin sepuluh. Itu juga sama dengan kebiasaan orang untuk sok berderma agar bisa merasakan kebahagiaan semu, dianggap dermawan, dapet pahala hingga berburu kebaikan. Padahal banyak orang-orang kaya membuang uang bikin yayasan amal, apakah demi lingkungan atau kemanusiaan? Itu tujuan sampingan. Terpenting adalah dengan mengalihkan duit ke bentuk yayasan adalah biar dapet pengurangan pajak. Nah, mereka yang ada di yayasan bahkan jadi cungpretnya nggak bakal mikirin itu selain tujuan-tujuan mulia yang digaungkan.
Jadi uang itu itu bukan soal seberapa banyak, tapi bagaimana orang bisa mengelolanya dengan baik. Punya sedikit uang tapi kalo penggunaannya bisa efisien dan memberi hasil maksimal sudah pasti bikin bahagia. Beda dengan orang yang lebih mengutamakan gengsi, banyak maunya tapi tidak bisa menggunakan uang dengan baik. Jika ada uang melimpah malah jadi boros nggak karuan. Belum lagi biaya perawatan juga mahal. Jika tidak uang, malah jadi kalap melihara gengsi. Tetep pengen kelihatan berduit meski didatengi penagih hutang juga nggak bisa bayar.
Di jaman sekarang, punya uang juga bukan lagi soal bagaimana bisa mengelola dan juga sekedar berpunya gegara duit. Uang juga bisa bikin bahagia jika si pemilik mampu mengaktifkankan gaya hidup yang sehat. Yak, kesehatan penting sodara-sodara. Kalo pun ente sakit, bukankah butuh biaya obat dan perawatan selain kudu bayar asuransi yang kagak jelas itu? Nah, punya uang bisa membantu gaya hidup yang sehat. Bisa berolahraga dengan ragam fasilitas, bisa jalan-jalan, bisa makan enak tanpa harus kuatir. Kalo raga dan pikiran sehat bebas rusuh, maka sudah apsti bisa mikir yang lebih besar bahkan mikirin orang lain. Maka dengan sikap semacam itu, kemampuan untuk bisa memiliki uang akan meningkat. Semakin banyak duit, malah bisa bantu orang lain. Ada kebahagiaan tersendiri, ada kebahagiaan bersama. Uang bukan dewa, tapi uang adalah sarana yang bisa membuat manusia berasa jadi dewa dengan sekecil apapun duit yang dimiliki atau sebaliknya menjadi raksasa kemaruk jika uang sebanyak apapun tidak mampu dikuasai.
“There is a myth I grew up with and heard so many times that I had believed it. They say money doesn’t buy you happiness. This is a delusion the poor cling to and the rich find comical. Money does buy happiness. Money equals freedom, the highest form of happiness. Money equals pleasure. The more you have the more pleasurable life is. People with money can never know what it is like to be without money. Money is a magnet, it doesn’t trickle down, it is sucked up.” ~ Clifford Thurlow
Bayangkan jika ada orang yang memang sudah miskin, tapi sikapnya sendirilah yang kemudian membuat dirinya selalu terjebak dengan kemiskinan. Mau idealis menolong orang lain, tapi membantu dirinya sendiri nggak mampu. Begitu ada sedikit uang, malah jadi konsumtif beli yang kagak-kagak. Pengen ini itu, gengsi aja yang digedein. Kebutuhan tersier terbeli, tapi yang primer seperti kualitas makan saja dilupakan. Tubuh menjadi tong sampah raksasa dengan beragam produk kw murahan nggak sehat. Makan plastik dan pengawet. Kuat minum dan merokok, tapi bicara soal ketidakadilan sosial. Adil sama diri sendiri aje susah tuh. Badan menjadi tidak mampu menopang jiwa yang mengedepankan egomaniak dan kepedean yang terlalu besar. Lama-lama cepat menjadi renta. Sementara sanak keluarga handai tolan yang harus dapat perhatian dengan menjalin relasi secara sehat makin terabaikan. Nah, situ sehat? situ nanya?