Intelektual atau cendekiawan sering dimaknai sebagai orang yang menggunakan akal atau kecerdasan untuk belajar atau tepatnya bekerja, dengan memberi ide atau gagasan sebagai sebuah solusi hingga rekomendasi untuk menjawab berbagai persoalan yang dikuasai di daalam bidangnya. Definisi tersebut jelas cukup panjang, bahkan lebar sebab intelektual memang sangat beragam dan ada dimana-mana, baik sebagai orang yang belajar seperti mahasiswa, mereka yang mengajar baik guru maupun dosen, atau bahkan peneliti, konsultan, dan sebagainya. Aktivitas yang bisa ditandai sebagai kerja intelektual adalah membaca, menulis, mengajar atau mendidik, presentasi, menarik kesimpulan yang dilakukan dalam skala dan rentang profesionalisme.
Anggap saja, batasan normatif dasar untuk intelektual adalah mereka yang bergelar sarjana, magister hingga doktoral. Di Indonesia, jumlah mahasiswa mencapai 8,9 juta orang (2021) yang naik sekitar 4,1% dari tahun sebelumnya. Sedangkan mereka yang sudah lulus jenjang S1 hingga S3 S1 hingga S3 adalah sekitar 17,06 juta atau 8,31% dari total penduduk berumur 15 tahun ke atas (2021). Jumlah ini sudah meningkat tiga kali lipat dibandingkan satu dekade sebelumnya. Bahkan ada prediksi bahwa lulusan S1 yang dihasilkan bisa mencapai 1,7 juta orang per tahun. Kemudian batasan tersebut dideduksi atau ditarik lagi dengan merujuk profesi dosen, sebab profesi ini mensyaratkan pendidikan terendah adalah setingkat magister. Dari 4.585 perguruan tinggai yang ada, maka jumlah terakhir dosen berdasarkan Pangkalan Data Dikti adalah 296.040 orang. Jumlah ini berbanding 1:30 dengan mahasiswa, yang berarti 1 dosen secara rata-rata mengampu 30 mahasiswa. Udah lumayan kan? Dosen sendiri memiliki rasio 88% adalah dosen tetap, sedangkan sisanya 12% adalah tidak tetap atau honorer.
Gambaran di atas sebenarnya adalah deskripsi awal tentang bagaimana proses intelektual dimulai. Sebab perguruan tinggi identik dengan aktivitas membaca, menulis, mengajar, meneliti dan mengabdi masyarakat, sebagai implementasi ilmu yang aplikatif dan dapat digunakan di tengah khalayak umum. Problemnya adalah, tidak semua aktivitas tersebut punya kualitas yang mumpuni. Dunia pendidikan secara perlahan tapi pasti, sudah bermutasi menjadi sekedar penghasil gelar. Jangankan sarjana, diploma pun seperti ahli madya tak tidak bergelar pun kini juga pake singkatan AMd. Apalagi yang S3, blom lulus aja sudah pamer Dr(Cand) yang sama sekali nggak ada dasar aturannya. Mengejar jumlah lulusan secara kuantitas dianggap jauh lebih penting ketimbang kualitas atau isi. Kok gitu? sebab disitulah hidup matinya kampus, terutama perguruan tinggi swasta. Semakin banyak yang masuk dan butuh gelar, semakin mendatangkan cuan, terlebih bila bisa lulus dengan cepat. Maka nggak heran, iming-iming sarjana jadi gurih buat siapapun juga karena semakin mudah untuk diraih.
Lantas, apa hubungannya dengan kinerja intelektual? Ambil saja urusan membaca. Hasil kajian terakhir oleh Perpustakaan Nasional menunjukkan tingkat kegemaran membaca naik cukup lumayan yakni mencapai skor 54,17% (2020) ketimbang beberapa tahun sebelumnya yang hanya mencapai 35,48% (2017). Dengan optimisme terhadap data itu, idealnya pendidik pun juga punya minat baca dan kemampuan bahasa yang lebih tinggi. Ini jelas nggak mudah, sebab kesulitan yang selalu muncul adalah tidak semua orang punya akses menyeluruh terhadap literatur seperti buku cetak, buku non cetak, dokumen, data, jurnal dan sebagainya. Kalau pun ada, belum tentu bisa dimanfaatkan dengan baik atau ada kendala bahasa. "Ada yang bukan [bahasa] Inggris nggak?" itu pertanyaan yang lazim ditemui. Gimana dikasih bahasa lain, bisa mejret ntar. Jadi ngemeng soal orang Indonesia malas membaca, tidak sepenuhnya tepat. Males cari sumber bacaan, mungkin lebih bisa dibilang begitu.
Kemudian soal menulis. Jumlah tulisan ilmiah sekarang naik cukup drastis. Wajarlah, terutama yang jadi dosen tetap kini dituntut menulis bahkan menghasilkan karya seperti jurnal, artikel dan buku sebagai beban kerja. Meski demikian belum tentu semua punya kualitas yang baik sebab dikejar target dan beban. Ada yang ngumpulin tulisan mahasiswa yang ditugasi menulis dan kirim ke jurnal internasional sambil minta jadi co-author supaya dapet poin. Ada yang tipsani alias kutip sana sini tanpa pernah kasih pendapat sendiri. Ada juga yang tinggal salin tempel supaya kelihatan aktif padahal bukan pikiran pribadi. Menulis ilmiah memang sulit, terlebih ada tiga level pokok yang harus dilalui. Level dasar adalah bicara tokoh atau gagasan konseptual. Semisal, bikin tulisan tentang si Anu atau gagasan X menurut nganu. Level dua adalah tematik contohnya seperti soal gagasan kebangsaan menurut A dan B. Jadi sudah mulai kompleks. Level tertinggi adalah menulis dalam konteks interdisiplin ilmu. Misalnya ngomong soal budaya konsumtif dengan analisis psikososial, etnografi dan ekonomi. Nah, ironisnya yang begini lebih lazim dilakukan di luar dunia akademik seperti konsultasi bisnis dan industri. Data terbaru pula.
Jadi soal berikutnya adalah meneliti. Seberapa banyak orang yang kemudian bisa rutin melakukan penelitian? Kalo di dunia bisnis dan industri, ada tuntutan untuk bisa memecahkan masalah melalui riset baik ilmu pasti maupun ilmu sosial. Di luar ini seringkali orang beranggapan bahwa penelitian hanya dibutuhkan ketika meraih gelar sarjana. Ketika sudah jadi sarjana, magister atau doktor, aktivitas meneliti jadi mandeg. Seolah sudah paripurna. Sebab kebayang sewaktu riset, pasti susahnya luar biasa. Soal waktu, pikiran, dana hingga menuangkannya dalam bentuk laporan. Emangnya kapok gitu? Belum lagi pas presentasi; terbata-bata ngomong a'u a'u pake halaman PPT yang tampilannya buruk. Dibantai penguji pula. Trauma? Bandingkan dengan profesional dalam dunia bisnis dan industri; harus mampu memberikan yang solusi dan rekomendasi terbaik melalui data terkini dengan pemaparan canggih, orasi meyakinkan dan harus siap dengan tuntutan klien yang tanpa ampun sebab dibayar. Beda sih pastinya.
Maka dengan demikian terlihat gap yang cukup lebar dari dunia akademik yang masih konseptual, konservatif dengan dunia bisnis dan industri yang dianggap lebih progresif dan pragmatis. Padahal kerja intelektual ada di dua sisi itu. Kesenjangan yang ada pun beragam; mulai dari soal tenaga kerja terdidik yang dihasilkan kampus, ekspektasi pasar, penyamaan gagasan, sumber-sumber pengetahuan dan sebagainya. Apalagi menjadi dosen tetap saat ini sudah cukup puyeng dengan Beban Kerja Dosen (BKD), Sertifikasi dan ini itu lainnya. Solusinya sih jelas antara lain adalah menarik para profesional di luar sana untuk mengisi kesenjangan di dunia akademik sebagai pengajar tidak tetap dengan berbagi pengalaman, memberikan referensi eksternal, hingga hal yang bersifat aplikatif dan profesional. Hanya saja, berdasarkan data di atas, rasio dosen tidak tetap ini terbilang kecil meski pada kenyataannya pada beberapa perguruan tinggi jumlah dosen tidak tetap jauh lebih banyak dibandingkan yang tetap. Itulah sebabnya seleksi dosen tidak tetap harus benar-benar ketat. Selain sudah punya nomor induk, reputasinya pun juga harus dikenal. Kalo cuma bisa ngajar doang, mengulang bahan yang sama, males cari bacaan baru, nggak pernah meneliti, nggak bisa presentasi, nggak bisa ngomong, nggak ada kerjaan selain nunggu honor, nggak paham perkembangan dunia luar, nggak kemana-mana selain ngejogrok di depan jum-juman, wah siap-siap aja kiamat dunia.
Itu cuma potret kecil tentang bagaimana wajah intelektual saat ini yang cukup memprihatinkan. Masih kusam kayak nggak pernah maskeran. Sebab kembali lagi kepada definisi tersebut, negara ini membutuhkan lebih banyak lagi pemikir muda yang serius dan sungguh mendalami bidang masing-masing. Dunia akademik serta dunia bisnis dan industri hanyalah sebagian dari realitas yang ada berkaitan dengan sumber pengetahuan hingga penyelesaian masalah. Masih banyak ruang-ruang yang harus diisi bahkan hingga pengabdian masyarakat. Tapi yang jelas adalah, kebutuhan akan intelektual adalah hal yang tidak terbantahkan di sektor mana pun hingga saat ini. Kalo beneran mau jadi orang terdidik dan menggunakan ilmunya secara utuh, maka pikiran harus terbuka dan mau tetap terus berproses. Sekali pikiran mandeg ya wasalam aje. Ntar orang bilang,"intelektual dari hongkong". Repot kan?
* Tulisan ini dibuat konon gegara besok Hardiknas, Hari Menghardik eh Pendidikan Nasional. Selamat merayakan.